Selingkuh tidak selalu salah. Kalau saja kamu istri yang patuh sama suami, kamu akan memberi ijin suamimu menikah lagi. Tapi kamu marah kalau ada teman yang dipoligami. Kamu mengancam minta cerai kalau itu terjadi padamu. Kamu jelas tidak mendukung. Saya pun selingkuh dan kemudian menikah siri diam-diam. Kenapa saya lakukan? Karena memiliki istri lebih dari satu itu diperbolehkan oleh agama kita. Ketimbang berjinah. Ketimbang sex di luar nikah. Selingkuh saya adalah selingkuh halal.
Rasanya tidak percaya dengan pendengaran saya ketika menerima cerita dari sang istri -sahabat saya- bahwa ucapan di atas disampaikan oleh suaminya setelah ketahuan memiliki istri lain.
Alangkah serasinya mereka sebagai pasangan. Alangkah cintanya anak-anak kepada ayahnya. Kepada ibunya. Alangkah sempurnanya keluarga itu di mata publik. Secara materi mereka kecukupan. Foto keluarga di rumah mereka nampak sempurna, wajah-wajah yang indah dipandang. Semua tersenyum saling merangkul.
Namun semua itu menjadi kepalsuan belaka. Ketika sang istri merasa dikhianati dan ditipu, suaminya malah mencoba meyakinkan bahwa perbuatannya tidak salah secara agama. (Ajaibnya!) Malah sang suami menasihati istrinya bahwa istri yang salehah adalah istri yang menyetujui suaminya menikah lagi ketimbang terjerumus perjinahan. Suaminya membutuhkan lebih dari satu istri, ketimbang berjinah seharusnya direlakan menikah lagi.
Butuh berapa istri sih? Ternyata beberapa. Belakangan kemudian ketahuan.
Weeeeek.
***
Selingkuh tidak salah karena menjadi istri muda itu boleh menurut agama. Saya tahu bahwa kamu tidak memberi ijin pada suamimu. Tapi suamimu bilang, biarlah itu urusan lelaki (dia). Saya tidak bermaksud jahat padamu. Saya tidak bermaksud merebut suamimu. Kita bisa rukun. Kita dukung suamimu supaya menjadi suami yang adil.
Begitulah yang dikatakan wanita itu kepada si istri tua. (Masya Allah!) Malah dinasihatinya sang istri tua untuk ikhlas menerima dirinya. Berani dan tabah sekali dia datangi si istri tua. Sementara istri pertama itu seorang wanita terhormat yang tidak dapat bertindak kasar, atau berkata keras.
Menatap wanita itu dengan amarah yang ditunjukkannya secara terang benderang. TIDAK. Katanya.
***
Kisah tentang perselingkuhan membuat kita dapat berkata buruk kepada lelaki dan perempuan pelakunya. Apalagi kalau itu perselingkuhan yang melanggar norma agama.
Emang ada perselingkuhan yang tidak melanggar norma agama? Banyak. Menurut suami dan istri muda di atas, contohnya. Menurut pelaku poligami tanpa ijin dari istrinya. Itu banyak diberitakan di koran.
Sah. Halal.
***
Perselingkuhan mengandung resiko yang jahat. Baik untuk si lelaki maupun perempuan peselingkuh. Apa bedanya resiko antara peselingkuh perempuan dan lelaki?
Peselingkuh perempuan tentu saja paling takut “habis manis sepah dibuang”, ditinggalkan dalam keadaan hamil. Sesudah bosan kemudian ditinggalkan, sedangkan dirinya harus mengurus anak hasil selingkuhan.
Ada kasus yang menonjol tahun ini mengenai perselingkuhan yang menjadi berita media massa. Artis Sinta Bachir yang diancam akan dibunuh pejabat kepolisian (katanya sudah pernah menikah siri tapi pisah), serta merta melindungi dirinya sendiri dengan memblow up teror tersebut ke media massa. Meskipun resikonya terkuaklah bahwa dirinya seorang perempuan yang melakukan peran “istri simpanan” dan tentunya akan mendapat hujatan masyarakat.
Sedangkan kasus heboh lainnya yang berakhir tragis adalah kasus pembunuhan Sisca Yovie dan Holy Angelina. Begitulah resiko seorang istri simpanan dari pejabat yang nama baiknya tidak mau tercoreng. Begitu selingkuhannya mulai terlalu ‘banyak tingkah’ dan mengganggu istri tua, maka akan diputuskan. Kalau terlalu melawan, ya terpaksa “ditangani”.
Resiko yang paling ditakutkan oleh peselingkuh lelaki adalah resiko terhadap pekerjaan atau jabatannya. Baru kemudian resiko tercoreng nama baiknya. Ketahuan anak dan istrinya. Keluarga dan kenalannya. Kalau pejabat atau orang ternama, takut ketahuan publik. Seperti kisah si Enji (Henry Baskoro Hendarso) yang anaknya pejabat polisi (mantan Kapolri) dan menikah dengan artis, atau Sitok Srengenge, tentunya menjadi headline berita.
Resiko yang sangat besar dari perselingkuhan itu teryata tidak membuat jera. Sudah begitu banyak contoh kasusnya yang mengakibatkan kehancuran keluarga, pekerjaan dan hidupnya, tapi tetap saja banyak peselingkuh.
Betapa banyaknya orang yang disakiti. Tapi jelas yang paling jadi korban adalah anak-anak. Bukan cuma materi yang mereka butuhkan, tapi kesetiaan ayah dan ibunya.
***
Kembali ke cerita di awal tentang sahabat saya.
Ketika si istri tetap mengatakan TIDAK dan memilih bercerai. Sang suami berteriak marah, menyalahkan istri yang tidak patuh terhadap suami, dan mengatakan tidak bersedia bercerai.
Apa yang ada dalam benak seorang suami yang selingkuh dan nikah siri berkali-kali itu? Mungkin dia tidak mau hartanya yang paling berharga (keluarga yang rupawan, istri yang cantik dan sempurna, anak-anak yang cantik dan gagah dan dbanggakannya) pecah berantakan…. (Ajaibnya) Menurutnya yang salah adalah istrinya karena dirinya dibenarkan untuk menikah lagi. Sah. Halal tadi.
Konon seorang lelaki tidak pernah mau bercerai dengan istri pertama. Apalagi istri yang baik, percaya sepenuhnya, tidak neko-neko, dan tidak matre, meskipun sang suami sudah semakin sukses dan kaya.
Sang istri, seorang perempuan bergelar doktor yang pernah mengajar di fakultas tempat kuliahnya RW yang mengalami kasus dengan Sitok Srengenge itu tapi sekarang sudah pindah mengajar di universitas lain, dengan pasti mengatakan TIDAK kepada suaminya.
Airmatanya hanya untuk anak-anak yang sudah remaja. Mereka harus dikabari bahwa ayahnya ternyata sudah menikah siri yang pertama kali pada 14 tahun silam. Ketika wanita (istri muda) itu datang memperkenalkan diri dan dia mengatakan TIDAK, suaminya menceraikan istri mudanya itu.
Sekarang, setelah ketahuan terdapat istri-istri yang lain, sang ibu ingin bercerai.http://sosbud.kompasiana.com/2013/12/07/selingkuh-tidak-selalu-salah-616463.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar