Kiai Haji Ahmad Rifai dilahirkan
pada 9 Muharam 1200 H atau 1786 di desa Tempuran
Kabupaten Kendal
dari pasangan suami isteri K.H. Muhammad Marhum Bin Abi Sujak Seorang Penghulu
Landerad di Kendal dan Siti Rahmah, pada waktu usia Dia sekitar 6 tahun ayah
Dia wafat (Semoga Allah Mengasihinya), sehingga Dia mendapat sentuhan kasih
sayang dari seorang ayah dalam waktu yang singkat, yaitu selama 6 tahun. pada
usianya yang begitu muda itu (6 tahun) itu dia (Ki Ahmad) sudah diasuh oleh
kakaknya yang bernama Nyai Rajiyah istri Kiai As'ari seoarang ulama pendiri dan
pengasuh Pondok Pesantren Kaliwungu.
Di sinilah Syekhina belajar ilmu
agama kepada kiai As'ari dan diamalkan melalui dakwah lisan dan tulisan kepada
rakyat sekitarnya, sebelum sampai kesuksesannya menelurkan banyak karya ilmiah
yang sarat ilmu dan patriotisme serta cita-cita kemerdekaan yang justru menghadirkannya
pada suatu keadaan yang tidak menguntungkan baginya dan bagi kita (dampaknya
sampai sekarang) yaitu: berpisah dengan keluarga dan menikmati masa masa
terakhir hidup dalam pengasingan meski sempat ada komunikasi lewat
surat-menyurat dengan Maufuro tetapi setelah ketahuan Belanda hubungan
benar-benar putus dan para murid semakin terpojok oleh isolasi Belanda,
kitab-kitab banyak disita Belanda dan sekarang cerita ini hanya diketahui oleh
beberapa orang saja bahkan keturunan syeikhina dijawa tidak diketahui, tanah
wakaf dijarah penduduk meski sebagian telah dibeli / dimerdekakan oleh para
Saudara Rifaiyah yang semoga dimuliakan Allah serta isu klasik yang menyerang
para muridnya ditambah tidak adanya regenarasi menjadikan kita minoritas kalah
kuantitas bahkan mungkin kualitas.
Dia hidup dipengasingan sampai
ajalnya menjemputnya di Ambon pada Kamis 25 Robiul Akhir 1286
H (usia 86 tahun), ada riwayat lain yang mengatakan dia wafat pada 1292 H (92 tahun,
semoga yang ini benar, karena itu berarti dia panjang umur) di kampung Jawa
Tondano Kabupaten Minahasa, Manado Sulawesi Utara dan dimakamkan di komplek makam
pahlawan Kiai Modjo di sebuah bukit yang
terletak kurang lebih 1 km dari kampung Jawa
Tondano (Jaton) .
Setelah beberapa kali keluar masuk
penjara Kendal
dan Semarang
karena dakwahnya tegas, dalam usia 30 tahun, Ahmad Rifai berangkat ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji,
ke Madinah ziarah
Makam Rosululloh SAW dan memperdalam
ilmu di sana selama 8 tahun. Dan kemudian di Mesir selama 12
tahun. Di Haramain (Mekkah dan Madinah) ia berguru kepada Syaikh Abdul Aziz Al Habisyi,
Syaikh Ahmad Ustman dan Syaikh Is Al -Barawi. Sedang di Mesir ia berguru
pada Syaikh Ibrahim Al Bajuri dan
kawan-kawan.
Pulang ke Kendal menjelang
kembali ke kampung halaman di Kendal, Kiai Haji Ahmad Rifai bertemu dengan ulama-ulama
Indonesia di Mekkah
, Nawawi dari Banten, Muhammmad Khallil dari Madura
dan teman yang lain. Dalam pertemuan itu, mereka mengadakan musyawarah untuk
memikirkan nasib umat di Indonesia yang sedang terbelenggu oleh takhayul, kufarat dan mistis. Bahkan
bangsa Indonesia
sedang dalam cengkeraman Belanda hasil musyawarah yang mereka sepakati bersama,
mengadakan pembaharuan dan pemurnian islam lewat pengajian, diskusi, dialog dan
penerjemahan kitab-kitab bahasa Arab ke bahasa
Jawa ( Jarwa'ake!).
Isi dalam karya diutamakan membahas
ilmu pokok yaitu Aqidah Islamiah Ibadah - Muammalah dan Akhlak. Kiai Nawawi mengemban
tugas menyusun kitab Aqidah, Ahmad Rifai Fiqih dan Muhammad Khallil menyusun
Tasawuf. Pada tahun 1254
H Haji Ahmad Rifai telah selesai menyusun kitab Nasihatul Awam di Kalisalak Batang Pekalongan.
Nawawi menetap
di Banten dan Khllil di Madura.
Bagi Syekh Nawawi
, karena keadaan pada waktu itu masih di bawah jajahan Belanda, dan
setiap gerak-gerik ulama selalu diawasi, termasuk kegiatan Nawawi, ia
terpaksa kembali ke Mekkah untuk mengajarkan ilmu yang dimiliki kepada mahasiswa
yang berdatangan ke sana dari berbagai negara.
Di Mekkah, ia tinggal
disebuah perkampungan Syi'ib Ali sampai wafatnya. Muhammad Khallil memimpin
pesantren dan sebagai guru tarekat muktabarah di Bangkalan Madura
sampai akhir hayatnya. Sedang Ahmad Rifai sebelum hijrah ke Kalisalak, Haji Ahmad Rifai
pulang ke desa Tempuran Kendal ingin
melepas rindu dengan keluarga. Namun Tuhan menghendaki lain, istri yang
diharapkan bisa memberi semangat dalam perjuangan, telah tiada.
Meskipun demikian, semangat Syeikhina
dalam menegakkan kebenaran mengalahkan kebatilan tidak menjadi surut. Tidak
lama setelah pulang dari Mekkah, Syeikhina dia tidak diperkenankan tinggal di Kendal karena Haji
Ahmad Rifai selalu mengkritik elit e agama ,birokrasi Belanda dan Masyarakat
yang berkolaborasi dengan kolonial Belanda. Karena
Menurut Syaikhina Belanda adalah kafir. Strategi Dakwah Pesantren
Kaliwungu Kendal adalah sebuah pemondokan para santri dari berbagai daerah
belajar mengaji kitab salaf kepada seorang kiai asli keturunan Keraton Yogyakarta
Kiai Asy'ari namanya kakak ipar Syeikhina, suami Nyai Rajiyah (kakak perempuan
Syeikhina).
Di pesantren inilah Syeikhina
dibesarkan dan memperoleh pendidikan dan pembinaan dari Kiai Asy'ari, setelah
tumbuh menjadi pemuda dan dianggap cukup pengetahuan ilmu agamanya, Kiai Ahmad
Rifai terjun ke dunia dakwah di Kendal, Wonosobo bahkan Pekalongan, di Kendal
ia mendirikan pengajian dan menghimpun parasantri yang datang dari berbagai
daerah, sehingga menjadi kelompok pengajian yang besar.
Keberhasilan Kiai Ahmad Rifai ini
karena dakwah dan pengajiannya sangat menarik sebelum kegiatannya diketahui
oleh pemerintah kafir kolonial setempat, Ahmad Rifai Kiai keturunan Kraton Yogyakarta
ini telah berhasil menggalang kekuatan barangkali belum pernah dimiliki
kiai-kiai lain. Sehingga pada saat ia diasingkan dari Kendal kemudian atas
inisiatif sendiri menetap di Kalisalak , Kiai Ahmad Rifai
sudah punya jaringan luas untuk mengembangkan ajarannya. Strategi dakwah yang
dikembangkan kiai Ahmad Rifai saat itu antara lain: menghimpun anak-anak muda
untuk dipersiapkan kelak menjadi kader-kader dakwah, karena pemuda adalah harapan
keluarga dan masyarakat. Di tangan pemudalah urusan umat dan dalam derap
langkah pemudalah hidupnya umat. Sekarang pemuda, esok pemimpin. Pemuda Qahar
dan Maufuro adalah bukti hasil pengaderannya.
Menghimpun kaum dewasa lelaki dan
perempuan dari kaum petani, pedagang dan pegawai pemerintah, dimaksudkan untuk
memperkokoh strategi dakwah, penyokong utama dalam segi finansial dan dewan
harian pelaksanaan dakwah pengajiannya itu. Mengunjungi sanak famili terdekat
diajak bicara tentang kondisi agama, politik dan sosial yang dimainkan oleh
pemerintah kolonialisme Belanda dengan
membuktikan fakta-fakta yang ada dan langkah yang akan ditempuh dengan dakwah
dan pengajian, supaya memperoleh simpati keluarga. Para santri dan murid
dianjurkan kawin antar sesama murid atau murid dengan anak guru, antar desa dan
antar daerah dimaksudkan agar terjalin hubungan yang mesra dan saling
menumbuhkan kasih sayang dan dapat mengembangkan ilmunya didaerah masing
masing. Kiai Maufuro menikah dengan anaknya bernama Nyai Fatimah alias Umroh.
Pada hari-hari tertentu mengadakan
kegiatan khuruj berkunjung ke tempat lain yang miskin materi dan agama . Dengan
kunjungan itu diharafkan akan memperoleh respon dari masyarakat atau mungkin
paling tidak dapat membentengi pengaruh budaya barat yang merusak. Menghimpun
kader-kader muslim terdiri dari santri dan murid dari berbagai daerah kemudian
dijadikan mubalig untuk diterjunkan ke berbagai pelosok guna memberi dan
menyampaikan dakwah ketengah masyarakat.
Mendatangi masjid-masjid untuk
memperbaruhi arah salat ke arah menghadap kiblat.
Masyarakatnya, disarankan agar tidak menaati pemerintah kolonial, Belanda di Indonesia
telah merusak kepribadian dan kebudayaan bangsa.
Menerjemahkan kitab-kitab berbahasa
Arab dengan kitab berbahasa Jawa yang mudah dipahami dan diamalkan dengan model
karangan sendiri. Untuk menyesuaikan kondisi masyarakat pada waktu itu,
dibuatkan kitab -kitab berbentuk syair atau nadzam yang indah dan dilagukan
sedemikian rupa sehingga menarik minat pembaca dan pendengar, kertas putih,
tulisan merah, untuk setiap Al Qur'an, Al Hadits, Qoulul
Ulama (perkataan ulama) serta tiap kata awal dari syair (yang Mengilhami
ditulisnya tulisan ini dengan huruf merah pada awal paragraf) serta hitam untuk
tulisan makna dan komentar, penulisan ini sesuai dengan budaya bangsa sejak Sultan
Agung Mataram
XVI dalam penulisan kitab-kitab Arab.
Menciptakan kesenian terbang
(rebana) disertai dengan lagu-lagu, syair-syair, nadzam-nadzam yang diambil
dari kitab karangannya, sehingga terbangan itu di sebut Jawan. Terbangan itu
dimanfaatkan untuk mengingat pelajaran, hiburan pada saat ada hajatan dan
sekaligus mengantisipasi budaya asing yang merusak. Budaya itu sengaja dibawa
Belanda ke Indonesia untuk melawan budaya tanah air yang diwariskan oleh nenek
moyang kita yang muslim dan mukmin.
Pindah Ke Kalisalak rupanya
pemerintah kolonial merasa khawatir terhadap gerakan keagamaan Haji Ahmad Rifai
itu berkembang di daerah kendal dan sekitarnya, karena gerakan yang semula
dirintangi itu ternyata makin banyak pengikutnya dari daerah lain. Diduga
kekhawatiran pemerintah Belanda terhadap gerakan Ahmad Rifai ini, diilhami oleh
kekhawatiran pemerintah kolonial akan munculnya kembali pemberontakan, seperti
terjadinya Perang Diponegoro di Jawa
Tengah pada 1825
- 1830.
Pemerintah tidak mau lagi jatuh
kedua kalinya dalam satu lubang. Sebelum Mubalig Ulung lebih jauh melangkah,
pemerintah kolonial mengambil langkah mengasingkan ulama kharismatik ini ke
luar Kendal, tidak lain agar gerakan dia terhambat dan tidak berkembang. Atas
kenyataannya ini kemudian ia memilih tempat tinggal di Kalisalak sebagai basis
perjuangannya. Langkah ini ditempuh karena Kalisalak merupakan daerah strategis
untuk medan dakwah dan memudahkan kontak hubungan dengan semua pihak dari
berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Pada umumnya masyarakat disana kaum
petani yang pengetahuan agamanya perlu disempurnakan. Selain itu para murid
yang pernah mendapat latihan mental waktu di Kendal adalah dari Krisidenan
Pekalongan, di samping Karisidenan lain, seperti Maufuro Batang, Abu Ilham
Batang, Abdul Azis Wonosobo, Abdul Hamid Wonosobo, Abdul Qohar Kendal, Muhammad
Thuba Kendal, Imamtani Kutowinangun, Muh Idris Indramayu, Muharrar Purworejo,
Mukhsin Kendal, Mas Suemodiwiryo Salatiga, Abdullah ( Dolak ) Magelang, Abu
Hasan Wonosobo, Abu Salim Pekalongan, Abdul Hadie Wonosobo, Tawwan Tegal,
Asnawi Pekalongan, Abdul Saman Kendal, Abu Mansyur Wonosobo, Abdul Ghani
Wonosobo, Muhammad Hasan Wonosobo, Muhammad Tayyib Wonosobo, Ahmad Hasan
Pekalongan, Nawawi Batang , Abu Nawawi Purwodadi.
Mereka itulah kader-kader Mubaligh tangguh yang berjasa
mengembangkan pemikiran Haji Ahmad Rifai ke daerah - daerah Jawa
Tengah dan Jawa Barat. Ketika Haji Ahmad Rifai berada di Kendal
sempat menuklahkan putranya, Fatimah Alias Umroh dengan lurah Pondok, Maufuro
bin Nawawi, Keranggonan ( sekarang Karanganyar
) Kecamatan
Limpung. Setelah meninggalkan kota
Kendal, Haji
Ahmad Rifai sementara tinggal di rumah Kiai Maufuro menantunya.
Tidak lama kemudian Ahmad Rifai
menikahi janda Demang Kalisalak Alm Martowidjojo
namanya Sujainah lalu ia hidup bersama istrinya di Kalisalak. Di Kalisalak pada
mulanya Kiai Haji Ahmad Rifai menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Namun
lembaga itu kemudian berkembang menjadi majelis pendidikan yang mencakup pula
orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Satu hal yang menyebabkan
pengajian haji Ahmad Rifai cepat terkenal adalah metode terjemahannya, baik
Al-Quran, Al-Hadits maupun kitab-kitab karangan ulama Arab dan Aceh lebih
dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebelum diajarkan kepada para murid,
bahkan kelihatan sebagai kewajiban yang ditempuh secara sadar,seperti yang
tersirat di dalam satu bait kitab Ri'ayatal Himmah karya Haji Ahmad Rifai, sebagai
berikut:
Wajib saben alim adil nuliyan
narajumah kitab Arab rinetenan supoyo wong jawi akeh ngerti pitutur saking
Qur'an lan kitab - kitab Arab jujur kaduwe wong awam enggal ngerti milahur
ningali kitab Tarjamah jawi pitutur
Artinya: Diwajibkan bagi setiap alim
adil ( ulama akhirat ) untuk menejemahkan kitab Arab,
agar orang jawa lebih mengerti ajaran dari Al Quran dan
kitab-kitab Arab ( Hadits dan Ulama ) dengan benar sehingga orang awam mengerti
dan segera melaksanakannya.
melihat ( membaca dan mempelajari )
kitab Tarjumah jawa sebagai ajaran. karena metodenya yang tepat manfaat maka
tak mustahil pengajian Ahmad Rifai cepat berkembang. Para muridnya datang dari
daerah yang dekat saja seperti Kendal, Batang dan Pekalongan tetapi juga berasal dari Kedu , Wonosobo, Magelang , Banyumas, Kerawang, Indramayu
dan lainnya . Dan intensitas pengajaran tauhid , fiqh dan tasawuf rasional yang
dijalankan oleh Haji Ahmad Rifai yang menyebabkan perbedaan antara tradisi
keliru yang telah mapan dengan pemikiran barunya . Mendirikan Pesantren Kiai
Haji Ahamd Rifai mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren di Kalisalak Batang . Sistem
pengajaran yang menggunakan terjemahan bahasa jawa untuk memahami ajaran -
ajaran islam , mendorong bertambahnya murid pesantren yang berdatangan dari
berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara waktu itu kebiasaan di
pondok pesantren masih berlaku pengajian kitab - kiatb berbahasa Arab saja ,
dan masih asing terhadap kitab kitab terjemahan. Menurut DR. Karel A. Steenbrink (
Sarjana Belanda ) bahwa di dalam sejarah dakwah , Ahmad Rifai bisa dianggap
hampir satu - satunya tokoh yang bisa memberikan uraian tentang agama Islam
tanpa memakai idiom - idiom Arab dan mampu mengarang buku dalam bahasa yang
menarik karena memakai bentuk syair. Metodologi
yang digunakan dalam pengajarannnya menggaunakan empat tahapan . Keempat
tahapan itu adalah:
Tahapan Pertama ; Seorang
santri harus belajar membaca kitab Tarojumah terbatas pada tulisan Jawa. Sistem
pengajaran ini dinamakan ngaji irengan , mengejakan satu persatu huruf kemudian
merangkum menjadi bacaan atau kalimat, tingkatan ini merupakan awal di dalam
cara membaca kitab Tarojumah . Disamping itu para Santri harus menghafal syarat
rukun iman, dan islam, ibadah salat dan wiridan " Angawaruhi Ati
Ningsun.......!" atau " Sahadat Loro". Setelah Salat fardlu,
diwajibkan mengikuti praktek Salat yang dipimpin oleh lurah -pondok yang
bersangkutan .
Tahapan Kedua ; Mengaji dalil -
dalil Al - Qur'an , Hadist dan Qoulul
Ulama', yang terdapat Kitab Tarojumah. Dalam Tahapan ini Seorang Lurah pondok
harus menguasai ilmu tajwid Al - Qur'an dan mampu mengaplikasikannya dalam
bacaan Al-Qur'an dengan benar. Pengajian tahap ini disebut ngaji abangan karena
memang tulisan Arab untuk dalil adalah berwarna merah atau ABANG atau disebut
juga ngaji dalil karena hanya dalil saja yang dibaca. Di samping itu santri
harus hafal dan bisa serta paham tentang Syarat - Rukun Puasa dan Salat.
Tahapan Ketiga ; Mengaji dalil
dan makna jadi satu dari kitab - kitab Tarojumah , tahapan ini dinamakan ngaji
lafal makno ( belajar menerjemahkan tiap kata dalil / kalimat dalil dengan
bahasa jawa yang ada dibawah dalil itui ) , disini para santri membutuhkan
kejelian dalam mencari arti.
Tahapan Keempat ; Seorang santri
diajak memahami maksud yang terkandung dalam kitab - kitab Tarojumah , karena
hampir setiap kalimat mempunyai makna harfiah dan tafsiriah yang tentunya
membutuhkan keterangan dan pemahaman yang dalam . Kitab - kitab Tarojumah
disusun dengan formula lengkap : Kamaknanan , Kamurodan , Kasarahan ,
Kamaksudan Dan Kapertelanan , atau dengan kata lain ngaji maksud , ngaji sorah
, ngaji bandungan , atau ngaji sorogan . Pengajian ini berupa pembacaan dan
penerangan isi kandungannya dan dilakukan oleh Syaikhina Haji Ahmad Rifai
sendiri dihadapan para santri dan murid pilihan kemudian mereka satu persatu
memcoba menirukan seperti apa kata dia . Dalam pengajian ini diajarkan pula
oleh ulama' itu tentang ilmu dan amalan kesunahan yang tidak tertulis di dalam
kitab - kitab Tarojumahnya.
Kitab - Kitab Tarojumah Karangannya
Kitab -kitab karya Kiai Haji Ahmad Rifai di Jawa yang dapat diketahui pasti ada
62 buah judul kitab rangkuman berbagai soal keagamaan yang diambil dari Al -
Qur'an dan Al - Hadits dan kitab - kitab bahasa
Arab karangan ulama' - ulama' terdahulu yang diterjemahkan secara bebas
kedalam bahasa Jawa , karenanya disebut Tarajumah , berisi ilmu Tauhid , Fiqih dan Tasawuf ,
memakai huruf Arab Jawa Pegon, sebagian besar berbentuk nadzam ( puisi tembang
), setiap empat baris dengan akhiran sama dan sebagian lagi natsar ( prosa )
atau natsrah ( nadzam dan natsar sekaligus ) , selain itu ada juga yang
berbentuk miring yang disebut Tanbih Rejeng.
karya Tulis
Kitab -
kitab yang disusun di pulau Jawa
ada 62:
Risalah berisi fatwa - fatwa agama (
1254 H ) ;
Nasihatul 'Awam , berisi Nasihat
kepada masyarakat / awam ( 1254 H ) ;
Syarihul Iman, berisi Bab Iman ,
Islam , Ihsan dan barang ta'alu' ( 1255 H ) ;
Taisir , berisi Ilmu Salat Jumat (
1255 H ) ;
'Inayah , berisi Bab Khalifah
Rosullulloh ( 1256 H ) ;
Bayan , berisi Ilmu meteodologi
mendidik dan mengajar ( 1256 H ) ;
Jam'ul Masail , berisi Bab 3 Ilmu
Agama ( 1256 H ) ;
Qowa'id , berisi Bab Ilmu Agama (
1257 H ) ;
Targhib , berisi Bab Makrifatulloh (
1257 H ) ;
Thoriqot Besar , berisi Bab
Hidayatulloh ( 1257 H ) ;
Thoriqot Kecil , berisi Bab
Thariqotulloh ( 1257 H ) ;
Athlab , berisi Bab mencari Ilmu
Pengetahuan ( 1259 H ) ;
Husnul Mitholab , berisi 3 Ilmu
Agama ( 1259 H );
Thulaab , berisi Bab Kiblat Salat (
1259 H ) ;
Absyar , berisi Bab Kiblat Salat (
1259 H ) ;
Tafriqoh , berisi Bab Kewajiban
Mukalaf ( 1260 H ) ;
Asnal Miqosod , Bab 3 Ilmu Agama (
1261 H ) ;
Tafsilah , berisi Bab Kemntapan Iman
( 1261 H ) ;
Imdaad , berisi Masalah Dosa Takabur
( 1261 H ) ;
Irsyaad , berisi Bab Ilmu Manfaat (
1261 H ) ;
Irfaq , berisi Bab Iman , Islam ,
dan Ihsan ( 1261 H ) ;
Nadzam Arja Safa'at , berisi Hikayat
Isro' Mi'roj Nabi Sol'Am ( 1261 H ) ;
Jam 'ul Masail , berisi Bab Fiqih
dan Tasawuf ( 1261 H );
Jam'ul Masail , berisi Bab Tasawuf (
1261 H ) ;
Tahsin , berisi Bab Fidyah Salat Dan
Puasa ( 1261 H ) ;
Showalih , berisi Kerukunan Umat
Beragama ( 1262 H ) ;
Miqshadi , berisi Bab bacaan Al
Fatihah ( 1262 H );
As'ad , berisi Bab Iman dan
Ma'rifatulloh ( 1262 H ) ;
Fauziah , berisi Bab Jumalah Maksiat
( 1262 H ) ;
Hasaniah , berisi Bab Fardlu
Mubadarah ( 1262 H ) ;
Fadliyah , berisi Bab Dzikrulloh (
1263 H ) ;
Tabyanal Islah , berisi Bab Nikah
Tholaq Rujuk ( 1264 H );
Abyanal Hawaij , berisi Bab 3 Ilmu
Agama ( Ushul-Fiqih-Tasawuf ) ( 1265 H ) ;
Takhirah Mukhtasar , berisi Bab Iman
Islam ( 1266 H ) ;
Ri'ayatal Himmah , berisi Bab 3 Ilmu
Agama ( 1266 H ) ;
Tasyrihatal Muhtaj , berisi Masalah
Mu'amalah ( EKSOS ) ( 1266 H ) ;
Kaifiyah , berisi Bab Tata Cara
Salat ( 1266 H ) ;
Misbahah , berisi Bab Dosa
Meninggalkan Salat ( 1266 H ) ;
Ma'uniyah , berisi Sebab Jadi kafir
( 1266 H ) ;
'Uluwiyah , berisi Bab Takabur
karena Harta ( 1266 H ) ;
Rujumiyah , berisi Bab Salat Jum'ah
( 1266 H ) ;
Mufhamah , berisi Bab Mukmin dan
Kafir ( 1266 H ;
Basthiyah , berisi Bab Ilmu Syariat
( 1267 H ) ;
Tahsinah , berisi Bab Ilmu Tajwid (
1268 H ) ;
Tadzkiyah , berisi Bab Menyembelih
Binatang ( 1269 H );
Fatawiyah , berisi Bab Cara Berfatwa
Agama ( 1269 H ) ;
Samhiyah , berisi Bab Salat Jum'ah (
1269 H ) ;
Rukhsiyah , berisi Bab Salat Jama' -
Qosor dan Salat Musafir ( 1269 H ) ;
Maslahah , berisi Bab Pembagian
Warisan Islami ( 1270 H ) ;
Wadlihah , berisi Bab Manasikh Haji
( 1272 H ) ;
Munawirul Himmah , berisi Bab Wasiat
Kepada Manusia ( 1272 H ) ;
Surat kepada R. Penghulu Pekalongan
( 1273 H );
Tansyirah , 10 Wasiyat Agama ( 1273
H );
Mahabbatulloh , berisi Bab
Nikmatulloh ( 1273 H ) ;
Mirghabut Tha'ah* , berisi Iman dan
Syahadah ( 1273 H ) ;
Hujahiyyah , berisi Bab Tata Cara
Berdialog ( 1273 H ) ;
Tashfiyah , Bab Makna Fatihah ( 1273
H ) ;
500 Tanbih Bahasa Jawa , ( 1273 H
) ;
700 Nadzam Do'a dan Jawabannya (
1270 - 1273 H ) ;
Puluhan Tanbih Rejeng , Masalah
Agama ( 1273 H ) ;
Shihatun Nikah , Mukhtashar Tabyanal
Islah ( 1270-an H );
Nadzam Wiqoyah ( 1270 -an H )
Kitab -
Kitab , Surat Wasiat dan Tanbih yang disusun di Ambon
Targhibul Mathlabah , Berisi Bab
Ushuliddin ( 1274 H ) ;
Kaifiyatul Miqshadi , Berisi Bab
Fiqih ( 1275 H ) ;
Nasihatul Haq , Bab Tasawuf ( 1275 H
) ;
Hidayatul Himmah , Bab Tasawuf (
1275 H ) ;
60 Buah kitab Tanbih bahasa Melayu (
1275 H );
Surat wasiat kepada Maufuro dan
Murid - Murid lainnya ! ( 1275 H ) ;
Perlu diketahui bahwa kitab Tanbih
terdiri dari tiga halaman folio sebanyak 114 baris nadzam dan di dalam setiap
tanbih membahas satu masalah agama yang berbeda dengan nyang lain , berati
dalam 500 tanbih terdapat 500 judul. Kalau tiap satu tanbih dapat dihitung
sebuah kitab , maka kitab - kitab karangan syeikhina Kiai Haji Ahmad Rifai ada
562 Kitab yang dikarang di Pulau Jawa saja, kitab - kitab yang dikarang di
Ambon yang terdiri dari 60 Tanbih dan 4 kitab bahasa melayu serta dua surat
wasiat kepada Maufuro, jadi kalau ditotal semua karangan Guru Besar Tarjumah
ada 627 buah kitab.
Adapun data mengenai nama kitab,
tahun selesai dikarang, dan kandungan bersumber pada :
- Jadwal Kitab yang disusun oleh Kiai Ahmad Nasihun bin Abu Hasan Paesan tengah Kedungwuni Pekalongan ( 1966 M ) ;
- Kitab - kitab karangan Kiai Haji Ahmad Rifai dipulau Jawa
- Buku Sejarah Nasional karangan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo , Nugroho Notosusanto dkk. Masa Akhir Perjuangan Dia Di Pulau Jawa
Tahun 1272 H ( 1856 ) adalah
tahun permulaan krisis bagi gerakan Syeikhina Kiai Haji Ahmad Rifai . Hal ini
disebabkan hampir seluruh kitab karangan ( dan Hasil tulisan tangan dia )
disita oleh pemerintah Belanda , disamping itu para murid dan Ahmad Rifai sendiri
terus - menerus mendapat tekanan Ratu Kafir Tanah Jawa ( RKTJ Bukan GITJ )
yaitu Belanda
. Sebelum Haji Ahmad Rifai diasingkan dari kaliwungu Kendal Semarang ,
tuduhan yang dikenakan hanyalah persoalan menghasut pemerintah Belanda dan
membawa Haji Ahmad Rifai dipenjara beberapa hari di Kendal , Semarang dan
terakhir di Wonosobo
.
Maka selama di Kalisalak persidangan
panjang dialaminya , menghasut , mendoktrin jamaah membuat Syair - Syair protes
dan beberapa Kitab yang isinya menyinggung Anti kolonial Belanda dan
Kroni - kroninya serta mengkader pejuang pejuang militan di Pesantrennya adalah
selalu menjadi tuduhannya. Tuduhan itu dari wedono Kalisalak yang meminta agar
Haji Ahmad Rifai diasingkan dari Kalisalak ternyata tidak bisa dibuktikan
sebagaimana dalam surat keputusan kelima dari Gubernur Jenderal Duymaer Van Twist yang
dibuat pada tanggal 2 Juli 1855 menyatakan bahwa
seluruh tuduhan terhadap Haji Ahmad Rifai belum bisa dibuktikan , dan perlu
diperiksa dalam persidangan biasa . Untuk sementara waktu waktu perkara
tersebut ditutup.
Pada tahun 1856 Jendral Albertus
Jacub Duymaer Van Twist oleh Jendral Charles Ferdinand Pahud, Wedono Kalisalak
memandang perlu untuk mengangkat kembali permasalahan pengasingan Kiai Haji
Ahmad Rifai , namun ternyata jendral Pahud pun menyatakan menolak sebagaimana
yang ditulis dalam suratnya tertanggal 23 November 1858. Akan
tetapi tekad dan dendam Iblis Wedono Kalisalak tidak berhenti sampai
disini , Dia menulis surat kepada Bupati Batang tertanggal 19 April 1859 No.1 A
yang isinya diteruskan ke Karisidenan Pekalongan
oleh bupati Batang pada
tanggal 24 April 1859 No.29 . Inti
surat tersebut isinya adalah sebagaimana bunyi surat yang pernah dikirim
sebelumnya tertanggal 9 November 1858 No.578 dan
5 November 1858 No.700,
mengigat belum juga mendapat perhatian dari Residen Pekalongan,
maka diperjelas lagi dengan suratnya tertanggal 29 April 1859. Selain itu
pada tanggal 30 April 1859 Residen Pekalongan
menulis surat kepada Buiten Zorg di Bogor yang isinya
agar Kyai Haji Ahmad Rifai disidangkan ke pengadilan dan diasingkan dari
Kalisalak. Pada tanggal 6 Mei 1859 secara resmi Haji
Ahmad Rifai dipanggil Residen Pekalongan Franciscus Netscher
untuk pemeriksaan terakhir dan syarat untuk memenuhi pengasingan ke Ambon. Sejak tanggal
6 Mei 1859 Haji Ahmad Rifai
sudah tidak diperkenankan kembali ke rumah lagi untuk menunggu keberangkatan
pengasingan hingga tanggal 9 Mei 1859, berdasarkan surat
keputusan No.35 tertanggal 19 Mei 1859 K.H. Ahmad Rifai
meninggalkan jamaah beserta para keluarganya karena mulai hari itu dia
diasingkan di Ambon,Maluku.
Setelah dua tahun Haji Ahmad Rifai di
Ambon dia telah
mengirim kitab sebanyak empat buah dalam bahasa Melayu dan 60 buah
judul Tanbih berbahasa Melayu juga surat wasiat tertanggal 21 Dzulhijjah 1277 H
kepada menantunya Kyai Maufura bin Nawawi di Keranggongan, Batang yang isinya
agar para muridnya beserta keluarganya jangan sekali-kali taat pada pemerintah Belanda dan
orang-orang yang berkolaborasi dengannya. Setelah di Ambon Haji Ahmad Rifai
bersama Kyai Modjo dan 46 ulama lainnya
dipindahkan ke kampung Jawa Tondano, Manado, Sulawesi
Utara karena ia bersama ulama-ulama Tarojumah menganggap perlu lahirnya
organisasi Rifaiyah secara nasional , dan dia tinggal disana untuk menanti
panggilan dari sang Robb, Dia wafat dengan tenang sebagai " Pahlawan Islam
dan bukan Pahlawan Nasional" pada Kamis 25 Robiul Akhir 1286
H (usia 86 tahun) , ada riwayat lain yang mengatakan dia wafat pada 1292 H (92
tahun, semoga yang ini benar, karena itu berarti dia panjang umur) di kampung
Jawa Tondono Kabupaten Minahasa, Manado Sulawesi
Utara dan dimakamkan dikomplek makam pahlawan kiai Modjo disebuah bukit yang
terletak kurang lebih 1 km dari kampung
Jawa Tondano
(Jaton).
Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir
1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan,
Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau
Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu,
dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya
nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.
KH. Abdul Lathif sangat berharap agar
anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya.
Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH.
Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.
Mbah Kholil kecil berasal dari
keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan
Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul
Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror
Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu
Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya
kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung
keturunannya.
Oleh ayahnya, ia dididik dengan
sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa,
kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan
ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu)
sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh
dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai
pesantren untuk menimba ilmu.
Belajar ke Pesantren
Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun
1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada
Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari
Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian
beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok
Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di
Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih
mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri
sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela
melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap
perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah
Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam
berkali-kali.
Orang yang Mandiri
Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil
muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada
alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun
Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi
perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh
ayahnya dalam bertani.
Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap
saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena
itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa
nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi
kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil
telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa
Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca
Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).
Ke Mekkah
Kemandirian Mbah Kholil muda juga
nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa
itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan
impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada
orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.
Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar
otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah
pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai
kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil
nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia
mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan
untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan
melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya.
Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.
Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat
usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi
sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan
Lodra Putih.
Setelah menikah, berangkatlah dia ke
Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil
tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama
pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil
bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah, agar perjalanannya selamat.
Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil
Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi
Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah
Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh
Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud
Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi
Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang
digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya,
Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di
Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak
dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak
mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil
lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak.
Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah
Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis
pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.
Kebiasaan memakan kulit buah semangka
kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali,
salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah
seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad
Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama
rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu berada di Mekkah untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai
penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada
waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi
Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun
kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan
untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya
tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
Mbah Kholil cukup lama belajar di
beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah,
beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil
selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer
arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Kembali ke Tanah Air
Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada
catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai
seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai
salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga
dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah
Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1
Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.
Dari hari ke hari, banyak santri yang
berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah
dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa
Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri
mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar
200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren
yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa
kelahirannya.
Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil
juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga
dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat
bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Di sisi lain, Mbah Kholil disamping
dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal
sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi).
Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Geo Sosio Politika
Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi
sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil
sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang
menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari
Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah
Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat
Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil
penganut Tarekat tersebut atau tidak?
Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput
dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah
Kholil melakukan perlawanan.
Pertama: Ia melakukannya dalam bidang
pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk
menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas,
baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat
dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim
Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.
Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan
perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar.
Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi
kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan
pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya,
Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi,
ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada
kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa
dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan
tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan
orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan
banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak
Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.
Mbah Kholil adalah seorang ulama yang
benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya
agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya
adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang
dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa
Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa
yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu
pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak
melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi
mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.
Mbah Kholil sendiri pernah ditahan
oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat
melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh
kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak
sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.
Diantara sekian banyak murid Mbah
Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa
Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri
Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok
Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem,
Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok
Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren
Asembagus, Situbondo).
Karomah Mbah Kholil
Ulama besar yang digelar oleh para
Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan
pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan
beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang
Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.
Istilah karomah berasal dari bahasa
Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam
kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa
yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang
Nabi.
Adapun karomah Mbah Kholil
diantaranya:
1. Membelah Diri
Kesaktian lain dari Mbah Kholil,
adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam
waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren.
Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata.
”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau
sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah,
ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah
bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan
terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah
Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka
tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke
pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang
dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,”
Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
2. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika
Dalam buku yang berjudul “Tindak
Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil
Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang
mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:
“Suatu hari, ada seorang keturunan
Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun
belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa
menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil
untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan
pula anak dan istrinya ikut mengantar.
Di tengah perjalanan ia bertemu
dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu
mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan
di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari
rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang
seraya berkata: “Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”
Melihat hal tersebut, kedua orang
sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena
Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari,
mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke
makam beliau.
3. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa
Duduk
Pada suatu hari petani timun di
daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu
kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani
timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan
ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai
tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah,
suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam
para petani serentak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi
wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang.
Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang
timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata
petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh
Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah
berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf
“qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai
‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai
dengan tegas dan mantap.
“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani
dengan nada ragu dan tanda tanya.
“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil
menandaskan.
Mereka puas mendapatkan penangkal
dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan
keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya
petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka
melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus
tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini
merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin
melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun
hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena
ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling
itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi.
Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat
disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia
kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di
ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.
Maka sejak saat itu, petani timun di
daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah
Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren
berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun,
dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan
timun.
4. Kisah Ketinggalan Kapal Laut
Kejadian ini pada musim haji. Kapal
laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon
haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada
suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya
dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal
belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil
bergegas ke luar kapal.
Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan
kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya
dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski
agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami
mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal
untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan,
kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat
kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Di saat duduk memikirkan nasibnya,
tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat:
“Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa
dirimu!” Ucapnya dengan tenang.
“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia,
kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu
pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Mbah Kholil minta
tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut
orang itu menutup pembicaraan.
Tanpa pikir panjang lagi,
berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman
Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu
menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil.
Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai
pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembali dengan tangan
hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki
tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu
Mbah Kholil?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas
pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!”
Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.
Maka sang suami yang malang itupun
kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru
setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena
sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami
melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah
Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya,”
Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah
ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada
orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya
menatap tajam.
“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang
anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah
Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya
pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang
sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa
yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan,
bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya
di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur
jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan
seolah-olah datang dari arah bawah kapal.
Padahal sebenarnya dia baru saja
mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama
hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat
yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki
karomah yang sangat luar biasa.
Biografi Syekh Nawawi Banten
Seperti yang diketahui bahwasanya Syekh Nawawi Al Bantani ( Banten ) adalah
seorang ulama yang terkenal, tidak hanya di dalam negeri saja akan tetapi
kemasyhurannya dalam ilmu agama membuat beliau dikenal banyak orang di luar
negeri juga.
Beliau lahir
di daerah Tanara, Serang, Banten. Maka dari itulah nama belakang beliau selalu
ada gelar Al Bantani karena beliau berasal dari banten. Beliau lahir pada tahun
1813 dan wafat pada tahun 1897 di kota impian para muslim yaitu kota Mekkah.
Nama lengkap beliau adalah Abu Abdul Mukti Muhammad Nawawi Bin Umar Bin Arabi,
beliau masih keturunan dari Maulana Hasanuddin putra dari waliyullah Syekh Gunung
Jati yaitu salah seorang anggota Wali Songo yang menyebarkan islam di kota
Cirebon dan sekitarnya.
Pendidikan Syekh Nawawi Banten
Sejak kecil beliau memang terkenal
sangat cerdas, beliau sangat mudah dalam menangkap semua pelajaran yang di
ajarkan ayah beliau sejak umur 5 tahun. tentu dalam hal ini jarang sekali ada
seorang anak yang berumur 5 tahun yang pintar serta paham dengan ilmu agama
islam. Pada usia 8 tahun beliau sudah mulai melanjutkan pendidikan agamanya di pondok pesantren. Guru beliau setelah ayahandanya
adalah Kyai Sahal Banten setelah itu beliau meneruskan lagi nyantrinya (meneruskan
pendidikannya) kepada Kyai Yusuf Purwakarta.
Belum genap 15 tahun beliau sudah
mengajar banyak orang, kemudian beliau memilih tempat pengajarannya di sebuah
tempat yang mana lokasinya pinggir pantai dengan tujuan agar leluasa dalam
menyampaikan materi kajian islam serta bisa mencakup semua orang.
Hijrahnya Syekh Nawawi Banten
Setelah genap berusia 15 tahun, Syekh
Nawawi Banten melanjutkan lagi perjalanannya dalam mencari ilmu agama.
Adapun tujuan dalam mencari ilmunya kali ini beliau memilih kota Mekkah sebagai
tempat nyantrinya.
Kenapa harus kota Mekkah sebagai tempat tujuan dalam mencari ilmu agama,
karena pada masa itu pusat pendidikan agama Islam ada di kota Mekkah, disana
beliau bertemu dan berguru kepada Para Syekh di antaranya adalah :
1. Syekh Khatib As Sambasi
2. Syekh Abdul Ghani Bima
3. Syekh Yusuf Sumbulaweni
4. Syekh Abdul Hamid Dhagestani
5. Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi
6. Syekh Ahmad Dimyati
7. Syekh Ahmad Zaini Dahlan
8. Syekh Muhammad Khatib Hambali
9. Syekh Junaid Al Betawi
Karya Karya Syekh Nawawi Banten
Syekh Nawawi Banten termasuk seorang ulama yang aktif
dalam menulis kajian islam diantaranya adalah sebagai
berikut :
- al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
- al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
- Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
- Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
- al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
- Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
- Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
- Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
- Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
- Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
- al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
- Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
- Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
- Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
- Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
- Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
- Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
- Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
- Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
- Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
- Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
- Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
- Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
- al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
- ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
- Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
- Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
- al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
- Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
- Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
- al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
- al-Riyâdl al-Fauliyyah
- Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
- Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
- al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
- Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
- al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
- Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Beliau wafat di kota Mekkah pada
tanggal 25 Syawal 1314 H. beliau dimakamkan di pemakaman Ma'la. Makam beliau
bersebelahan dengan makam putri dari Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq yaitu
puterinya yang bernama Asma' Binti Abu Bakar Ash Shiddiq. Semoga kita bisa
meneladani beliau dalam mengajarkan ilmu ilmu agama islam yang ikhlas semata
mata Lir Ridhoillah Amin Allahumma Amin.
1 komentar:
Punya Referensi nya kalo mereka bertiga bertemu di Mekah?
Posting Komentar