Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Azwar Abubakar menegaskan, resiko ujian
menggunakan metode Computer Assisted Test (CAT) lebih kecil dibanding
dengan ujian dengan sistem Lembar Jawab Komputer (LJK). Panitia Seleksi
Nasional CPNS tahun 2013 telah mengidentifikasi titik krisis dan resiko
yang mungkin timbul dalam proses pelaksanaan pengadaan CPNS, dari tenaga
honorer kategori II maupun dari pelamar umum.
Resiko pada CAT yang mungkin terjadi
antara lain listrik mati, jaringan terganggu, aplikasi bermasalah, dan
kecurangan dengan adanya joki. Semua itu bisa diantisipasi, jika
listrik mati dengan otomatisasi ke genset, kalau jaringan, harus dipilih
penyedia jaringan berkompeten, uji coba aplikasi sesuai beban riil.
“Untuk mengantisipasi adanya joki, kontrol identitas harus ketat dan
CCTV,” ujarnya saat memberi pengarahan dalam acara Mitigasi Resiko
Seleksi Nasional CPNS Tahun 2013 di BPKP, Kamis (10/10).
Menteri memerintahkan agar Tim
Pengawas Panselnas segera menyusun upaya mitigasi resiko, mulai dari
proses pengumuman, pelamaran, pelaksanaan tes, pengolahan LJK, penetapan
pengumuman hasil tes, proses penetapan NIP, dan penempatan pegawai.
Manajemen instansi pelaksana pengadaan
CPNS bertindak sebagai penanggungjawab utama dalam upaya mitigasi
resiko tersebut. Resiko pengadaan CPNS dan upaya mitigasinya perlu
diinformasikan kepada seluruh instansi yang melaksanakan seleksi CPNS
tahun 2013, untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan pengadaan CPNS tahun
2013.
Azwar Abubakar menambahkan, tujuan
dari mitigasi resiko untuk membangun kesadaran dan meningkatkan
kewaspadaan pelaksanaan pengadaan CPNS akan resiko yang mungkin timbul.
Selain itu, juga mendorong koordinasi pelaksanaan pengadaan CPNS tahun
2013 oleh Panselda/Panselwil dengan tim pengawas di daerah, yang
merupakan perwakilan dari BPKP setempat.
Deputi Kepala BPKP Bidang Polsoskam
Binsar Simanjuntak selaku Sekretaris Tim Pengawas Panselnas CPNS Tahun
2013 mengatakan, contoh resiko dan mitigasi pada pelaksanaan seleksi
CPNS antara lain pada tahap persiapan penggandaan naskah soal. Di sana
dapat terjadi pencetakan yang tidak selesai tepat waktu, naskah soal
bocor saat penggandaan dan dapat dicopy oleh pihak yang tidak berhak,
hasil cetakan sub standar, hasil cetakan LJK mudah rusak, dan jumlah
cetakan tidak sesuai dengan jumlah peserta ujian.
Menurutnya, semua itu dapat dimitigasi dengan pemilihan rekanan yang kompeten, pengawasan personil di percetakan mulai dari decript soal
sampai dengan pengamplopan. Selain itu, pengamanan oleh pihak tim
independen seperti LSM dan Polri, pemeriksaan kualitas kertas, dan
mengontrol jumlah peserta dengan jumlah soal/LJK dalam kontrak.
Lain lagi halnya dengan tahap
pelaksanaan ujian, lanjut Binsar, dengan resiko pengawas ujian yang
tidak kompeten dan independen, ruang ujian dapat diakses oleh yang tidak
berhak, adanya joki ujian dan adanya kecurangan antar peserta ujian.
Contoh mitigasi yang dapat dilakukan adalah adanya pakta integritas dan
pemilihan pengawas yang kompeten, pembatasan akses ke ruang ujian dan
harus memakai tanda pengenal, pengecekan foto peserta ujian, dan
pengawasan langsung kepada peserta ujian.
Di samping itu, pada pasca pengolahan
hasil ujian, Jumlah LJK yang diterima dan dinilai bisa jadi berbeda,
serta pemindaian nilai LJK ke dalam daftar nilai dapat berubah. Hal
tersebut dapat diakali dengan penyegelan amplop LJK, kontrol daftar
nilai peserta dengan jumlah penerimaan LJK dan penyerahan nilai, serta
kontrol nilai per LJK dengan pengumuman dan adanya prosedur uji petik. (bby/HUMAS MENPANRB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar