Pada pertengahan abad - 19
tepatnya disebuah Dukuh Temanggal Desa Gondang Kecamatan Subah Kabupaten
Batang lahirlah seorang bayi mungil dari pasangan suami istri yang sangat ta’at
beragama yaitu Kyai Idris dan Istrinya sekitar tahun 1840 M. Yang kemudian
diberi nama Asnawi bin Idris. Semasa kecilnya Asnawi merupakan salah satu
anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan sanagat rajin mencari ilmu,
khususnya ilmu agama Islam. Ketika menginjak dewasa beliau merasa sangat
perihatin dan sedih melihat kehidupan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya
yang kebetulan pada saat itu Bangsa Indonesia pada umumnya, masyarakat Dukuh
Temanggal Desa Gondang khususnya, dalam keterbelakangan dan ketertindasan baik
sosial, ekonomi, maupun budaya, akibat
Penjajahan pemerintah Kolonial Belanda.
Rasa keprihatinan itulah yang pada akhirnya membakar semangat juangnya untuk ikut
berjuang melawan kesewenag-wenangan penjajah Belanda, melalui jalur Agama.
Namun karena keterbatasan ilmu yang dimiliki beliau, maka beliau memutuskan
untuk menimba ilmu dan menambah wawasan agama kepada seorang ulama’ besar kelahiran Kab. Kendal, yang mendirikan sebuah Pesantren di Desa
Kalisalak Kecamatan Limpung. Beliau
adalah KH. Ahmad Rifa’i yang merupakan salah satu ulama’ yang sangat berani
dalam menentang pemerintah kolonial
Belanda, baik melalui dakwahnya maupun kitab-kitab yang ditulisnya.
Setelah merasa cukup berguru kepada Syaikh Ahmad Riafa’i, Beliau
pulang kekampung halamannya untuk mewujudkan cita-citanya, yaitu berjuang
melalui jalur agama untuk memerangi keterbelakangan dan kebodohan masyarakatnya
dibidang Syari’at Islam, serta membangkitkan semangat juang masyarkat yang ada
disekitarnya untuk melawan penjajah kolonial Belanda. Kemudian beliau menikahi
seorang wanita sholikhah bernama Wartimah hingga dikaruniai enam orang anak (
Suratmi, Saryadi, Tari, Sareh, Sarah, dan Yami)
Sebagai sarana atau media dakwahnya, beliau mendirikan sebuah surau
untuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat disekelilingnya, dan menurut
penuturan saksi hidup pada saat itu Desa Gondang dan sekitarnya belun ada satu
masjid-pun, sehingga ketika datang hari Jum’ah, beliau melakukan sholat
Jum’ahnya di Masjid Kalisalak Limpung, itupun beliau lakuka secara
sembunyi-sembunyi, mengingat kejamnya serta semena-menanya pemerintah kolonial
Belanda. Demikian pula pengajaran agama yang beliau sampaikan kepada
masyarakatnya juga tidak dilakukan secara terang-terangan, bahkan sebelum
beliau wafat (Tahun 1932 m.) kitab-kitab karya Syaikh Ahmad Rifa’i, yang beliau
jadikan sebagai pegangan ketika beliau mengajar, sempat berwasiat untuk
mengubur kitab-kitab tersebut sepeninggal beliau. Namun, berkat keihlasannya
Allah melimpahkan karunia Taufiq serta Hidayah-Nya, banyak masyarakat
sekelilingnya yang menjadi santri-santrinya sampai sekarang, bahkan dikemudian
hari berkat karomah beliaukitab-kitab yang dikubur dapat diketemukan kembali
melalui petunjuk dari salah satu ahli waris santri beliau. Dimana salah satu
kitab tersebut diabadikan dan diamankan oleh KH. M. Absori dari Bantaran
Kecamatan Rowosari Kabupaten Kendal (Pengasuh Podok Pesantren ABSORI). Dan
sebagian yang lainmasih disimpan oleh Kyai Wasturi (sesepuh Temanggal Desa
Gondang sekaligus saksi pembongkaran kitab-kitab kyai Asnawi)
PENINGGALAN
KYAI ASNAWI
1.
Kitab
Suci Al-Qur’an yang ditulis dengan tangan
2.
Kitab
Tarojjumah dan Kitab-kitab Fiqih, Tasowwuf, dan Kitab Usuluddin
3.
Surau
/ Musholla, yang sekarang berada di Dukuh Boyong Desa Kemiri Barat Kecamatan
Subah Kabupaten Batang.
SANTRI-SANTRI
KYAI ASNAWI
1.
Kyai
Kasim
2.
Kyai
Karnadi
3.
Kyai
Jemana
4.
Kyai
Yakuti
5.
Kyai
Marjani
6.
Kyai
Dasri
7.
Kyai
Waris dan Santri dari Daerah lainnya.
Hingga tulisan ini dibuat yang merupakan saksi hidup Kyai Asnawi
adalah :
1.
Kyai
Marjani dari Temanggal Desa Gondang
2.
Mbah
Tarmin dari Temanggal Desa Gondang
3.
Mbah
Su’ud dari Kauman Subah