CIKAMPEK- Bagi Alek
(45), pedagang asongan di Pintu Tol Cikopo, hari-hari di bulan puasa
merupakan masa yang cukup melelahkan. Betapa tidak, karena siang hari
hanya sedikit dagangannya yang laku sebab kebanyakan pengendara pada
berpuasa. Tahu Sumedang dijajakan mulai dari pukul 8 pagi hingga pukul
12 malam belum tentu habis terjual. Satu bungkus dijualnya Rp2.000.
Alek mengungkapkan, setiap hari dia
membawa 250 bungkus tahu. Jika daganganya laku semua, ia bisa
mengantongi Rp500.000,- dikurangi modal 230 ribu dan uang makan 150
ribu. Jadi masih tersisa 120 ribu untuk dibawa pulang kerumah. Namun tak
jarang dagangannya tidak habis terjual. “Bahkan sampai tidak balik
modal juga pernah,” ujarnya sambil mengusap keringat di dahinya.
“Enak jaman Pak Harto”, ia membuka
pembicaraannya dengan Tim Lipmud Yanlik Kementerian PANRB 2013. “Sebelum
tahun 1997 saya bisa menghabiskan dua rentengan tahu, keuntungan sampai
dua-tiga kali lipat dari sekarang,” ujarnya.
Dia menambahkan, waktu itu makan juga
masih murah. Petugas masih membiarkan pedagang masuk tol kalau macet.
“Sekarang tidak bisa lagi. Kalau ketahuan masuk tol kita digebukin petugas,
dagangan dan uang kita dirampas. Kita kan rakyat kecil perlu makan,
dari mana lagi kalau tidak dagang seperti ini” tutur Alek.
Seorang petugas Jasa Marga yang enggan
disebutkan identitasnya mengatakan, sebenarnya aturan tidak boleh
berdagang di jalan tol diberlakukan sudah sejak awal. Dulu memang agak
longgar. Namun karena lama kelamaan meresahkan dan mengganggu kenyamanan
pengendara, akhirnya petugas menegakkan aturan dengan tegas. “Soal
hukuman diberikan tidak seseram yang diceritakan pedagang tadi. Yang
jelas penegakan aturan itu agar mereka (pedagang) menjadi jera. Sekarang
sudah tidak ada lagi para pedagang memasuki tol saat antrian panjang
atau macet,” jelasnya.
Fenomena “enak jaman Pak Harto”
Di tempat terpisah, konsultan
komunikasi dan pengamat sosial Agus Bandono mengatakan, adanya ungkapan
“enak Jaman Pak Harto”, merupakan fenomena dari sebagian masyarakat yang
hanya melihat dengan kesadaran inderawi, tidak melihat permasalahan
secara utuh. Padahal birokrasi yang dibangun sekarang ini jauh lebih
baik di tengah arus demokratisasi dan keterbukaan, yang tidak pernah ada
sebelum era reformasi.
Menurut dia, sebagian masyarakat kita
masih berorientasi ke belakang, bukan ke depan. “Tidak mungkin kita
kembali, itu namanya kemunduran. Kalau pun ada kurangnya dengan keadaan
saat ini, itu yang perlu disempurnakan”, Agus meyakinkan.
Alumnus Magister Filsafat Universitas
Indonesia ini mengajak masyarakat untuk membangun kesadaran kritis agar
mampu berfikir dan bertindak emansipatoris, yaitu mampu membebaskan diri
dari belenggu-belenggu bahasa, pemikiran, politis dan hegemoni budaya.
Dia menilai kegiatan liputan mudik yang
dilakukan Kementerian PANRB ini sangat positif. “Misi Kementerian PANRB
dalam kegiatan Liputan Mudik Layanan Mudik merupakan bagian dari
mendorong kesadaran kritis masyarakat terhadap peran birokrasi dalam
melayani masyarakat”, imbuhnya. (TIM LIPMUDYAMMMLIK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar