Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi, mengatakan pemerintah
pada prinsipnya setuju agar RUU Pilkada mengefisienkan biaya politik
dalam kontestasi politik lokal tersebut. Sebab tingginya biaya yang
harus dikeluarkan calon berkorelasi dengan korupsi kepala daerah yang
hingga saat ini telah mencapai 295 kasus.
Kendati begitu, pemerintah sekarang ini juga terus mencari-cari formula apa yang paling tepat dalam menangkal politik biaya tinggi tersebut. "Bagi saya prinsip pembatasan oke, tapi pembatasan itu seperti apa teknisnya. Jangan hanya di atas kertas, tapi tidak bisa dioperasionalkan," kata Gamawan, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (4/6).
Terhadap isu politik biaya tinggi, banyak pihak seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) maupun Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan agar RUU Pilkada membatasi belanja. Mereka beranggapan bahwa tanpa adanya pembatasan belanja kampanye, maka pasangan calon akan berlomba-lomba menghimpun dana agar dapat berkampanye semasif mungkin guna memperbesar peluang menang. Akibatnya, pada saat menjabat mereka harus korupsi untuk mengembalikan dana tersebut.
Gamawan mengatakan bahwa secara teknis akan tidak mudah mengatur pembatasan belanja kampanye. Dia mempertanyakan apakah maksud pembatasan itu adalah uang dari pasangan calon disetorkan ke KPU, kemudian akan dikonversi menjadi alat peraga kampanye. "Ataukah semua alat peraga harus dicap oleh KPU," imbuhnya.
Pertanyaan berikutnya, sambung Gamawan, apakah yang dibatasi hanya pasangan calon atau juga semua orang. "Karena tidak mudah ini. Bagaimana status jika pendukungnya biayai sendiri. Atau juga ketika nanti ada teman, pendukung, saudara, atau orang lain yang mengklaim demikian. Efektif atau tidak aturan yang kita buat," Gamawan menegaskan.
Mantan Gubernur Sumatra Barat ini juga mengakui bahwa mengontrol keuangan yang beredar saat pilkada meskipun telah ada pembatasan belanja kampanye tidaklah mudah. Karena itu, menurutnya, perlu ada kajian lebih lanjut mengenai hal ini. Menurutnya, aturan terkait ini jika diatur harus benar-benar terperinci dan detail. "Semuanya harus dihitung, risikonya bisa diakali orang atau tidak dan diaudit aturan itu satu per satu. Kan orang mengakali terus aturan ini," tandasnya.
Belum Berubah
Sementara itu, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Reza Syawawi, menilai kondisi dalam pembahasan RUU Pilkada itu menunjukkan paradigma yang belum berubah dalam menyikapi politik berbiaya tinggi. Padahal, pembatasan belanja kampanye hanya salah satu elemen dalam mendorong fairness dan kesetaraan pilkada. "Di luar itu, kita juga masih dihadapkan pada banyak persoalan yang mestinya juga dijawab oleh UU," ujarnya.
Menurut dia, persoalan itu meliputi status ‘tim siluman’ yang bekerja di luar struktur resmi pasangan calon. Juga, soal uang mahar dalam pencalonan maupun politik uang yang belum diatur secara komprehensif dalam undang-undang. Selain itu, Reza mengatakan terkait dana kampanye calon juga diragukan kebenarannya, sementara tidak ada terobosan untuk memperbaiki hal itu.
"Apakah yang dilaporkan adalah biaya riil dari calon, tidak. Karena KPU sendiri juga tidak pernah melakukan verifikasi faktual atas laporan itu," tandasnya.
Masih terkait dengan dana untuk kampanye, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), M Afifuddin, menilai partai politik akan melawan atau "resisten" terhadap rencana pengaturan dana kampanye partai dan bakal calon legislatif di Pemilu 2014. "Tentu mereka takut 'sumber dana' mereka terganggu," kata M Afifuddin.
Perlawanan parpol itu karena mereka merasa terganggu karena aturan tersebut akan membatasi sumber dana yang didapatkannya selama ini. Selain itu, parpol melawan karena aturan yang nantinya dibuat KPU akan membatasi penggunaan dana kampanye yang dikeluarkan partai dan bakal caleg. "Pastinya parpol akan resisten dengan pengaturan dana kampanye karena akan membatasi mereka dalam penerimaan dan mestinya juga penggunaannya," ujarnya.
Afif menegaskan pengaturan dana kampanye diperlukan agar rivalitas kandidat atau parpol tidak terbatas hanya karena berapa uang yang dipakai dan digunakan. Persaingan antarkandidat dan parpol harus berdasarkan ide dan gagasan yang positif yang diungkapkan kepada pemilih.
Sebelumnya, KPU sedang mempersiapkan regulasi yang mengatur rekening dana kampanye calon anggota legislatif yang harus dibuka dan dilaporkan pembukuannya dalam Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. "Pada prinsipnya kami menginginkan ada peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu," ujar Ketua KPU, Husni Kamil Manik. har/Ant/P-3
Sumber :Koran Jakarta
Kendati begitu, pemerintah sekarang ini juga terus mencari-cari formula apa yang paling tepat dalam menangkal politik biaya tinggi tersebut. "Bagi saya prinsip pembatasan oke, tapi pembatasan itu seperti apa teknisnya. Jangan hanya di atas kertas, tapi tidak bisa dioperasionalkan," kata Gamawan, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (4/6).
Terhadap isu politik biaya tinggi, banyak pihak seperti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) maupun Indonesia Corruption Watch (ICW) mengusulkan agar RUU Pilkada membatasi belanja. Mereka beranggapan bahwa tanpa adanya pembatasan belanja kampanye, maka pasangan calon akan berlomba-lomba menghimpun dana agar dapat berkampanye semasif mungkin guna memperbesar peluang menang. Akibatnya, pada saat menjabat mereka harus korupsi untuk mengembalikan dana tersebut.
Gamawan mengatakan bahwa secara teknis akan tidak mudah mengatur pembatasan belanja kampanye. Dia mempertanyakan apakah maksud pembatasan itu adalah uang dari pasangan calon disetorkan ke KPU, kemudian akan dikonversi menjadi alat peraga kampanye. "Ataukah semua alat peraga harus dicap oleh KPU," imbuhnya.
Pertanyaan berikutnya, sambung Gamawan, apakah yang dibatasi hanya pasangan calon atau juga semua orang. "Karena tidak mudah ini. Bagaimana status jika pendukungnya biayai sendiri. Atau juga ketika nanti ada teman, pendukung, saudara, atau orang lain yang mengklaim demikian. Efektif atau tidak aturan yang kita buat," Gamawan menegaskan.
Mantan Gubernur Sumatra Barat ini juga mengakui bahwa mengontrol keuangan yang beredar saat pilkada meskipun telah ada pembatasan belanja kampanye tidaklah mudah. Karena itu, menurutnya, perlu ada kajian lebih lanjut mengenai hal ini. Menurutnya, aturan terkait ini jika diatur harus benar-benar terperinci dan detail. "Semuanya harus dihitung, risikonya bisa diakali orang atau tidak dan diaudit aturan itu satu per satu. Kan orang mengakali terus aturan ini," tandasnya.
Belum Berubah
Sementara itu, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Reza Syawawi, menilai kondisi dalam pembahasan RUU Pilkada itu menunjukkan paradigma yang belum berubah dalam menyikapi politik berbiaya tinggi. Padahal, pembatasan belanja kampanye hanya salah satu elemen dalam mendorong fairness dan kesetaraan pilkada. "Di luar itu, kita juga masih dihadapkan pada banyak persoalan yang mestinya juga dijawab oleh UU," ujarnya.
Menurut dia, persoalan itu meliputi status ‘tim siluman’ yang bekerja di luar struktur resmi pasangan calon. Juga, soal uang mahar dalam pencalonan maupun politik uang yang belum diatur secara komprehensif dalam undang-undang. Selain itu, Reza mengatakan terkait dana kampanye calon juga diragukan kebenarannya, sementara tidak ada terobosan untuk memperbaiki hal itu.
"Apakah yang dilaporkan adalah biaya riil dari calon, tidak. Karena KPU sendiri juga tidak pernah melakukan verifikasi faktual atas laporan itu," tandasnya.
Masih terkait dengan dana untuk kampanye, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), M Afifuddin, menilai partai politik akan melawan atau "resisten" terhadap rencana pengaturan dana kampanye partai dan bakal calon legislatif di Pemilu 2014. "Tentu mereka takut 'sumber dana' mereka terganggu," kata M Afifuddin.
Perlawanan parpol itu karena mereka merasa terganggu karena aturan tersebut akan membatasi sumber dana yang didapatkannya selama ini. Selain itu, parpol melawan karena aturan yang nantinya dibuat KPU akan membatasi penggunaan dana kampanye yang dikeluarkan partai dan bakal caleg. "Pastinya parpol akan resisten dengan pengaturan dana kampanye karena akan membatasi mereka dalam penerimaan dan mestinya juga penggunaannya," ujarnya.
Afif menegaskan pengaturan dana kampanye diperlukan agar rivalitas kandidat atau parpol tidak terbatas hanya karena berapa uang yang dipakai dan digunakan. Persaingan antarkandidat dan parpol harus berdasarkan ide dan gagasan yang positif yang diungkapkan kepada pemilih.
Sebelumnya, KPU sedang mempersiapkan regulasi yang mengatur rekening dana kampanye calon anggota legislatif yang harus dibuka dan dilaporkan pembukuannya dalam Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. "Pada prinsipnya kami menginginkan ada peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu," ujar Ketua KPU, Husni Kamil Manik. har/Ant/P-3
Sumber :Koran Jakarta