Pesantren sebagai institusi pendidikan asli Indonesia yang lebih tua
dari usia Republik, bisa diproyeksikan menjadi salah pusat pengembangan
peradaban Islam dunia.
Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Prof Nur Syam, kepada pers usai membuka Halaqah Alim Ulama yang digelar bersamaan dengan Pekan Olah raga dan Seni Antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (Pospenas) VI, di Gorontalo, Minggu (30/6). Halaqah ini dihadiri sekitar 300 orang, termasuk perwakilan seluruh kantor wilayah (kanwil) Kemenag se-Indonesia.
Pertemuan bertema Menakar Kehadiran Negara dalam Penguatan Kaderisasi Ulama ini, juga dihadiri Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenag M Jasin. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ace Syaifuddin; sejumlah pimpinan ormas keagamaan, di antaranya KH Masdar Farid Masudi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU); dan Staf Ahli Menteri Agama Prof Nanat Fatah Natsir.
“Pesantren adalah ‘legenda hidup’ yang masih eksis hingga hari ini. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, eksistensi pesantren karena tak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi karakteristik eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous),” ujarnya.
Sebagai indigenous, tutur dia, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. “Ada satu hipotesa, bahwa jika NKRI tak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan di negeri ini akan mewarisi corak pesantren. Sehingga perguruan tinggi perguruan tinggi yang ada sekarang ini tak akan berupa kampus umum, melainkan mungkin universitas berciri pesantren dan seterusnya,” katanya.
Nur Syam menambahkan, kemungkinan ini bisa ditarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan ala Barat. “Di mana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan,” ujarnya.
Sebagai contoh, lanjtu dia, universitas-universitas ternama di Amerika Serikat seperti Universitas Harvard, dulu merupakan lembaga keagamaan yang didirikan pendeta setempat, kemudian kini telah berkembang menjadi universitas modern, masyhur dan
berpengaruh di dunia.
“Sulit disangkal bahwa eksistensi pesantren dari masa ke masa, telah memberikan
kontribusi konkret dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Di era
kerajaan-kerajaan Jawa, pesantren menjadi pusat dakwah penyebaran Islam. Nah, ke
depan, pesantren bisa diproyeksikan menjadi salah satu pusat pengembangan peradaban
Islam dunia,” ujarnya.
Pengaderan Ulama Dalam kesempatan tersebut, Direktur Pendidikan Diniyah dan Ponpes Kementerian Agama Ace Saefuddin, mendukung penuh kehadiran pembentukan “ponpes khusus” untuk memperkuat pengaderan ulama. “Mestinya negara harus terlibat dalam pembiayaan yakni dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),” ujarnya.
Sementara itu, dalam sambutannya, Nur Syam berharap halaqah menelurkan rekomendasi penting untuk pengembangan pesantren ke depan. “Pokoknya nanti kalau membuat rekomendasi jangan banyak-banyak, cukup tiga saja yang penting bisa diwujudkan,” katanya.
Secara khusus, Nur Syam yang juga mantan rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya ini berharap peserta halaqah bisa merumuskan matang bentuk pengkaderan ulama. Perumusan ini, papar dia, sangat mendesak karena saat ini jumlah ulama pesantren yang memiliki kualitas memadai sangat minim.
“Perubahan sosial membuat kader-kader ulama berkurang. Untuk itu perlu menciptakan kader yang kuat,” katanya.
Kondisi ini diperparah oleh banyak siswa-siswa potensial dari sekolah Islam atau jebolan pesantren yang justru lebih tertarik ke perguruan tinggi umum. Untuk itu, dia sepakat munculnya gagasan dibentuknya pesantren atau lembaga khusus yang mendidik kader untuk menciptakan ulama mumpuni. Dengan ponpes khusus ini, bangsa Indonesia nantinya akan memiliki banyak ulama yang berwawasan luas dan berkualitas.
Terkait pembentukan ponpes khusus ini, Nur Syam berharap ada keterlibatan Negara dalam pembentukannya. “Karena hakikatnya negara dan pesantren adalah simbiosis mutualisme, jangan dibuat antagonis,” ujarnya. Diaberharap, forum halaqah mengerucutkan pembentukan ponpes khusus ini. Untuk teknisnya, lembaga pendidikan ini bisa diperkuat dengan menggandeng IAIN, UIN, ma’had aly dan lain sebagainya. (Yudhiarma)
Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) Prof Nur Syam, kepada pers usai membuka Halaqah Alim Ulama yang digelar bersamaan dengan Pekan Olah raga dan Seni Antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (Pospenas) VI, di Gorontalo, Minggu (30/6). Halaqah ini dihadiri sekitar 300 orang, termasuk perwakilan seluruh kantor wilayah (kanwil) Kemenag se-Indonesia.
Pertemuan bertema Menakar Kehadiran Negara dalam Penguatan Kaderisasi Ulama ini, juga dihadiri Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenag M Jasin. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ace Syaifuddin; sejumlah pimpinan ormas keagamaan, di antaranya KH Masdar Farid Masudi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU); dan Staf Ahli Menteri Agama Prof Nanat Fatah Natsir.
“Pesantren adalah ‘legenda hidup’ yang masih eksis hingga hari ini. Dalam pandangan Nurcholish Madjid, eksistensi pesantren karena tak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi karakteristik eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous),” ujarnya.
Sebagai indigenous, tutur dia, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. “Ada satu hipotesa, bahwa jika NKRI tak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan di negeri ini akan mewarisi corak pesantren. Sehingga perguruan tinggi perguruan tinggi yang ada sekarang ini tak akan berupa kampus umum, melainkan mungkin universitas berciri pesantren dan seterusnya,” katanya.
Nur Syam menambahkan, kemungkinan ini bisa ditarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan ala Barat. “Di mana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan,” ujarnya.
Sebagai contoh, lanjtu dia, universitas-universitas ternama di Amerika Serikat seperti Universitas Harvard, dulu merupakan lembaga keagamaan yang didirikan pendeta setempat, kemudian kini telah berkembang menjadi universitas modern, masyhur dan
berpengaruh di dunia.
“Sulit disangkal bahwa eksistensi pesantren dari masa ke masa, telah memberikan
kontribusi konkret dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Di era
kerajaan-kerajaan Jawa, pesantren menjadi pusat dakwah penyebaran Islam. Nah, ke
depan, pesantren bisa diproyeksikan menjadi salah satu pusat pengembangan peradaban
Islam dunia,” ujarnya.
Pengaderan Ulama Dalam kesempatan tersebut, Direktur Pendidikan Diniyah dan Ponpes Kementerian Agama Ace Saefuddin, mendukung penuh kehadiran pembentukan “ponpes khusus” untuk memperkuat pengaderan ulama. “Mestinya negara harus terlibat dalam pembiayaan yakni dengan menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),” ujarnya.
Sementara itu, dalam sambutannya, Nur Syam berharap halaqah menelurkan rekomendasi penting untuk pengembangan pesantren ke depan. “Pokoknya nanti kalau membuat rekomendasi jangan banyak-banyak, cukup tiga saja yang penting bisa diwujudkan,” katanya.
Secara khusus, Nur Syam yang juga mantan rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya ini berharap peserta halaqah bisa merumuskan matang bentuk pengkaderan ulama. Perumusan ini, papar dia, sangat mendesak karena saat ini jumlah ulama pesantren yang memiliki kualitas memadai sangat minim.
“Perubahan sosial membuat kader-kader ulama berkurang. Untuk itu perlu menciptakan kader yang kuat,” katanya.
Kondisi ini diperparah oleh banyak siswa-siswa potensial dari sekolah Islam atau jebolan pesantren yang justru lebih tertarik ke perguruan tinggi umum. Untuk itu, dia sepakat munculnya gagasan dibentuknya pesantren atau lembaga khusus yang mendidik kader untuk menciptakan ulama mumpuni. Dengan ponpes khusus ini, bangsa Indonesia nantinya akan memiliki banyak ulama yang berwawasan luas dan berkualitas.
Terkait pembentukan ponpes khusus ini, Nur Syam berharap ada keterlibatan Negara dalam pembentukannya. “Karena hakikatnya negara dan pesantren adalah simbiosis mutualisme, jangan dibuat antagonis,” ujarnya. Diaberharap, forum halaqah mengerucutkan pembentukan ponpes khusus ini. Untuk teknisnya, lembaga pendidikan ini bisa diperkuat dengan menggandeng IAIN, UIN, ma’had aly dan lain sebagainya. (Yudhiarma)