Pada masa kerajaan Mataram Islam
hingga kekuasaan Belanda, wilayah Batang adalah sebuah Kabupaten sendiri.
Sebelum akhirnya digabungkan dengan kabupaten Pekalongan oleh pemerintah
Belanda pada tahun 1936. Saat ini Batang berdiri sebagai Kabupaten. Meski tidak
dapat diperoleh hal yang pasti tentang pola penguasaan tanah di wilayah
Kabupaten Batang. Sejarawan Onghokham, menjelaskan bahwa dalam konsepsi
kerajaan Mataram Islam atau sebelumnya, penduduk dibedakan dalam struktur: Raja
sebagai pusat kekuasaan dan kalangan Abdi Dalem. Di kalangan abdi dalem
terdapat kelas elit yang berstatus priyayi/adik raja. Bagi Raja inilah
sesungguhnya warga negaranya (kawula). Sementara, diluar kalangan
tersebut terdapat kalangan wong cilik (Tjondronegoro & Wiradi, ed, 1984).
Para priyayi dan elit kerajaan
ini dibagi ke dalam wilayah-wilayah penguasaan tanah. Mereka diberi hak oleh
raja untuk menguasai namun tidak memiliki. Sebab, Raja adalah pemilik semua
tanah. Wilayah penguasaan mereka dibagi tidak didasarkan atas luas kewilayahan,
namun dihitung berdasarkan jumlah (petani) cacah nya. Dari para cacahnya
inilah, para elit kerajaan khususnya bupati dan pamong desa mendapatkan tanah lungguh
(apanage) yang merupakan tanah gaji. Tanah lungguh ini akan kembali kepada
raja jika para priyayi dan abdi dalem ini ini dipecat. Jika priyayi tersebut
meninggal dunia, tergantung kepada raja apakah ahli warisnya kelak dapat
melanjutkan lungguh ini atau tidak.
Para cacah adalah kaum tani
petani yang menguasai tanah dan mereka inilah yang menanggung beban tanah atau
mereka inilah yang mempunyai kewajiban pajak dan kerja bakti kepada para
priyayi (sikep). Para sikep mempunyai numpang (tanggungan) dan bujang
(belum menikah) yang merupakan lapisan sosial terendah.Hubungan antara priyayi
dengan petani-cacah nya menurut istilah Jawa digambarkan sebagai hubungan
antara Kawula-Gusti (hamba dan tuan). Menurut istilah modern Kawula-Gusti
diterjemahkan sebagai “pelindung-anak buah” (patron-client). Para
anak buah yaitu petani-cacah merupakan dasar politik dan militer bagi priyayi.
Jika negara membutuhkan pajak
baru dan kewajiban-kewajiban yang lebih luas, maka akan dibentuk Sikep baru
dengan cara memecah penguasaan sikep lama (pancasan). Sementara itu,
para numpang juga mempunyai hak mengusahakan tanah-tanah persekutuan (tanah
lanyah) secara bergantian dan tidak boleh memilikinya yang diatur oleh kepala
desa (bekel). Fungsi utama pembagian secara bergilir ini adalah untuk
menjaga para numpang tetap menetap di wilayah tersebut.
Beberapa kesimpulan yang
diuraikan oleh Onghokham tersebut di atas adalah: Jika hubungan raja dan
priyayi adalah hubungan kawula-gusti (patron client). Maka proses ini
akan berulang antara hubungan priyayi dan sikep di lapisan dua, dan sikep
kepada numpang dilapisan terendah.
Dengan melihat pola-pola umum
penguasaan tanah ini, maka dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan tanah
pada masa Mataram Islam dapat diartikan bahwa tanah mutlak dimiliki oleh Raja
semata. Bahkan, para elit sendiripun secara samar-samar saja mempunyai hak atas
tanah.
Keadaan ini, tidak banyak berubah
hingga ke zaman VOC, agaknya kongsi dagang ini belum terlalu berminat dalam
penguasaan-penguasaan langsung tanah dan kekuasaan. VOC lebih berminat
mengadakan perjanjian kerjasama dan atau pemaksaan penguasa wilayah di Jawa
bekerjasama untuk memastikan kuota (contingenten) hasil-hasil agraris di
tiap-tiap wilayah dapat disetor (wajib setor) kepada VOC (Kartodirdjo dan
Suryo,1991).Bagi kalangan wong cilik, wajib setor ala VOC relatif sama dengan
upeti untuk priyayi dan raja. Terlebih para pengumpulnya tetaplah sama:
kalangan penguasa/priyayi lokal. Sampai VOC bangkrut (1799), usaha-usaha
semacam ini tetap dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda yang mengambil
alih kekuasaan di Jawa.
Terjadi perubahan-perubahan
penting dalam struktur penguasaan tanah sejak kekuasaan Hindia Belanda secara
resmi berada ditangan Inggris dan menunjuk Sir Thomas Stanford Raffles menjadi
Gubernur Jenderal pada tahun 1811-1816. Pada masa ini Dikenalkanlah oleh sang
gubernur sistem sewa tanah. Sistem ini dijalankan dengan pengertian bahwa semua
tanah sebelumnya adalah milik raja (domein theory). Dan, karena raja
telah mengakui kedaulatan Inggris di wilayah Jawa maka pemilik tanah adalah
pemerintah penjajah. Sehingga, penduduk harus membayar sewa kepada pemerintah
penjajah (Rajagukguk__). Pada masa itu, di daerah yang dikuasai dengan
perjanjian dengan sistem ini dijalankan dengan cara mengurangi peranan penguasa
lokal (bupati). Bahkan, jumlah penguasa lokal setingkat bupati dikurangi dengan
melakukan penggabungan-penggabungan wilayah (Tjondronegoro dan Wiradi ed,1984).
Beberapa pola dan sistem utama
penguasaan tanah yang dijalankan pada masa Raffles (1811-1816) adalah: pertama,
Raffles mencoba menghilangkan peranan golongan feodal lama dalam mengutip
pajak dan menguasai tanah menggantinya dengan kekuasaan pemerintah jajahan yang
berciri tetap berciri feodal. Kedua, Tanah adalah milik pemerintah.
Maka, karena pemerintahan terkecil adalah desa maka semua tanah tersebut adalah
milik desa. Sehingga pemerintah desalah yang mempunyai kewajiban membayar pajak
yang telah ditetapkan oleh pemerintah besarannya. Untuk itu, pemerintah desa
diwajibkan mengutip pajak itu dari penduduk (land rent). Ketiga, Dalam
wilayah dimana kekuasaan lokal sudah tidak efektif akibat penguasaan langsung
pemerintah Raffles dapat langsung mengundang pemodal untuk mengikuti lelang
sehingga sang pemenang dapat langsung menguasai tanah, penduduk, dan hasil
panen.
Sistem pajak tanah yang
dikenalkan oleh Raffles sejak 1811-1816 telah menimbulkan beberapa persoalan
kepada kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting
berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap
sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini
kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).
Namun kalangan sarjana juga
mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini juga diakibatkan oleh keresahan
para priyayi yang mendapatkan keuntungan dari sistem Raffles khususnya para
priyayi Surakarta yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles
namun dinyatakan tidak lagi berlaku oleh Belanda (Rajagukguk,1994).
Perang ini telah membawa kerugian
besar bagi Belanda yang pada saat itu belum pulih dari kerugian selama Perang
Eropa. Namun, menurut Onghokham (Tjondronegoro dan Wiradi peny, 1984), Perang
Diponegoro yang berlangsung sejak 1825-1830 juga telah memberi sumbangan
penting bagi Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di
Jawa pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priyayi terhadap
pihak kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda
di Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka.
Kolaborasi ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan
pada penguasa kolonial.
Pelaksanaan Cultuurstelsel (sistem
pembudidayaan tanaman ekspor) yang kerapkali disebut politik tanam paksa
dijalankan secara intensif sejak tahun 1830-1870, dan secara resmi ditutup pada
tahun 1890 (Edi Cahyono:1988). Cultuurstelsel ini, dimulai sejak
kekuasaan Gubernur Jenderal Van Den Bosch. Era tanam paksa di Jawa sesungguhnya
sebuah proses percepatan pemindahan beberapa segi kekuasaan agraria dari kaum
feodal lama (priyayi) kepada pemerintahan feodal baru yakni pemerintah Hindia
Belanda khususnya dalam hal penguasaan para sikep numpang dan bujang di desa.
Sementara, para priyayi sendiri dipakai oleh Belanda sebagai tenaga
administratif dan “politik” yang kedudukannya dapat diwariskan.
Dengan memperkuat peran-peran
Bupati, Wedana dan Bekel (Lurah) di wilayah-wilayah maka Belanda mendapatkan
dukungan penuh dari kekuasaan feodal. Bahkan, untuk semakin mendapatkan
dukungan Belanda menjadikan kekuasaan tersebut sebagai sesuatu yang dapat
diwariskan berikut fasiltas berupa gaji bulanan dan tanah gaji (Tjondronegoro
dan Wiradi,peny,1984). Tanah gaji tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah
kolonial dengan memberinya kompensasi berupa dua kali gaji. Pejabat bupati,
wedana dan kepala desa dan yang tetap menginginkan tanah gaji akan diberi
setengah dari gaji bulanan saja. Sementara, tanah-tanah gaji yang mereka minta
tersebut yang ditentukan sendiri oleh mereka luasan arealnya dan letaknya
setelah disetujui oleh pemerintah Belanda. Dan tentusaja mereka memilih
tanah-tanah paling subur dan luas.
Semua penduduk desa memperoleh
tanah garapan, tak terkecuali para numpang dan bujang. Tanah garapan mereka
adalah tanah yang dapat pula diwariskan penggarapannya. Tanah tersebut berasal
dari tanah para sikep yang diambil alih oleh pemerintah desa dan dibagikan
kepada para numpang atau bujang atau mewajibkan penduduk bujang dan numpang
membuka areal baru di desa setempat.
Karena semua penduduk telah
mempunyai tanah, maka mereka mempunyai kewajiban membayar pajak dan kerja
bhakti seperti di era kerajaan. Namun pajak tersebut diubah dengan kewajiban
menanam tanaman ekspor yang luasnya paling sedikit 1/5 kemudian dinaikkan
menjadi 1/3 dari total tanah pertanian desa yang kerap disebut sebagai tanah
persekutuan/tanah kongsen atau tanah lanyah (Rajagukguk,1995). Penghitungan
jumlah pajak tanah suatu desa ditentukan dengan harga komoditas yang diwajibkan
ditanam tersebut oleh pemerintah. Harga pajak ini adalah cara untuk
meningkatkan produktifitas tanah wilayah tanam paksa tersebut (Simarmata,2002).
Tak jarang lebih dari separuh tanah pertanian desa akhirnya digunakan sebagai
tanah kongsen penghitungan pajak ini.
Para petani ini mengerjakan
wilayah desa yang ditentukan sebagai wilayah untuk tanam paksa (tanah
lanyah/tanah kongsen) ini dengan kerja wajib bergilir dan bersama-sama. Selain
itu, penduduk desa juga tetap diwajibkan mengerjakan tanah-tanah gaji para
priyayi bupati dan pejabat wedana atau kepala desa dengan imbalan makan, dan
kewajiban kerja paksa membangun gedung, jalan, rel kereta, irigasi dan
menjaganya secara bergiliran tanpa digaji. Kesemuanya menjadi tanggung jawab
lurah untuk mengkoordinirnya (Prisma,1991).
Untuk mendorong keberhasilan
sistem ini di tiap wilayah desa, kepala desa juga mendapatkan komisi atau
persentase dari hasil cultuurstelsel ini. Sistem ini tidak diberlakukan
pada desa-desa perdikan (desa bebas pajak) karena kewajiban khusus dari
kekuasaan feodal seperti mengurus makam dan memelihara pesantren (Tjondronegoro
dan Wiradi,ed, 1984).
Bagi Belanda sistem tanam paksa
sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan dari tanam paksa telah mampu
mentransformasi negara Belanda menjadi negara industri dan perdagangan yang
kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari keuntungan tanam paksa (batig
slot) di Jawa (Simarmata:2002). Tanam paksa telah membuat barang-barang
hasil ekspor pertanian dan perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan
barang-barang serupa dari Amerika Latin dan Hindia Barat yang didapatkan
melalui sistem perbudakan modern (Rajagukguk; 1995). Bahkan, sejak 1832-1867
total saldo keuntungan yang diambil dari Jawa sebebesar 823 juta gulden.
(Simarmata:2002).
Beberapa perubahan sosial yang
terjadi akibat sistem tanam paksa yang ditemukan oleh Onghokham (Tjondronegoro
dan Wiradi, peny 1984) dan Rajagukguk (1995) adalah:Pertama, pengambilalihan
tanah penduduk menjadi kepemilikan desa telah melahirkan petani rumah tangga
dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih
dibebani dengan kerja tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri
meski mempunyai tanah garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan
mereka. Kedua, kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman
tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk
menurunkan beban kerja keluarga. Ketiga, sementara itu, secara politik
sistem ini juga telah menghidupkan pemerintahan Desa sebagai struktur
pemerintahan efektif mengontrol administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem
ini juga menjadikan kepemimpinan di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter. Keempat,
Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bertahan
hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka. Lahan pekarangan
secara teori memang tidak dihitung pajaknya. Kelima, Sistem tanam paksa
telah menutup peranan ekonomi kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik
dari kalangan priyayi, Tionghoa, Arab maupun golongan pengusaha Belanda
sendiri. Keenam, Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru
dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng
(kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa
penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah
wajib menjalankan kerja
bakti di tanah-tanah cultuurstelsel.
Dengan demikian tanam paksa telah mentransformasi beberapa penduduk menjadi
kuli (buruh).
Edi Cahyono (Prisma,1991)
melukiskan bahwa era tanam paksa di wilayah Karesidenan Pekalongan adalah
sebuah masa awal proses transformasi golongan-golongan di dalam petani menjadi
kelas buruh perkebunan dan pabrik tebu. Perubahan tersebut, dilukiskan ketika
pada pertengahan 1830, pemerintah kolonial (gubermen) mulai melakukan aktivitas
merekrut tenaga kerja. Secara resmi petani diserap melalui kontrak kerja (suiker-contract).
Untuk membantu perekrutan ini, Lurah (kepala desa) sangat besar perannya
sebagai mediasi antara gubermen dengan kaum tani yang akan dijadikan
buruh.Upaya ini tidak benar-benar berhasil memaksa petani untuk mematuhinya.
Sehingga, Residen Pekalongan, Praetorius, bupati Kabupaten Batang, Ario
Djaijeng Ronno, agar bersedia turun tangan mempergunakan pengaruhnya menarik
petani untuk bekerja kembali dalam onderneming gula.Demang Batang
melaporkan, dengan munculnya bupati di onderneming, 303 buruh
penandatangan kontrak menepati janjinya, dan juga, berhasil menyerap
buruh-buruh bukan kontrak sebanyak 574 orang (sebagian besar adalah buruh usia
muda, sekitar 12 tahun, buruh anak-anak, bekerja membantu orang-tuanya.10)
Mereka mengerjakan kebun-kebun tebu pada pagi hari sejak pukul 6.00 hingga
pukul 10.00, dan sore hari dari pukul 16.00 hingga 18.00 (Prisma:1991).
Gejala tenaga kerja membanjiri
pabrik-pabrik gula di Pekalongan terjadi menjelang paruh kedua abad XIX. Jumlah
seluruh buruh (di tiga pabrik) yang pada tahun 1845 hanya 5.444 orang, melonjak
menjadi lebih dari 10.000 buruh, dengan perhitungan sebagai berikut:
Wonopringo: 4.257 buruh, Sragie: 3.854 buruh, dan Kalimatie: 2.798 buruh.11)
Padahal, batas "ideal" yang ditetapkan gubermen, jumlah buruh untuk
masing-masing pabrik adalah 2.440 orang yang terbagi untuk penanam tebu 1.600
orang, penebang 320 orang, transportasi 280 orang, pencari kayu 40 orang dan
kuli dalam pabrik 200 orang.12) Penyebab melimpahnya tenaga kerja, tampaknya
terkait erat dengan dihapuskannya industri nila. Industri nila baik milik
pemerintah maupun milik keluarga bupati mulai dibubarkan dalam tahun 1848
(Prisma:1991).
Nampaknya, perekonomian desa
sudah tidak dapat menampung kembali warga atau bekas warganya yang dihentikan
dari pabrik-pabrik nila, untuk kembali ke pekerjaan semula menjadi petani.
Gejala ini dilukiskan oleh Onghokham sebagai akibat langsung dari tanam paksa
yang telah merubah struktur penguasaan tanah di Jawa menjadi rumah tangga
pertanian kecil (Tjondronegoro dan Wiradi, ed,1984).
Keadaan masyarakat desa khususnya
petani yang semakin memburuk di wilayah Batang, telah melahirkan sebuah
perlawanan lokal petani yang dipimpin oleh KH. Rifai (1850) yang bercirikan mesianistik.
KH Ahmad Rifai adalah sosok pemimpin perlawanan di Kalisalak, Batang yang
dilahirkan pada Kamis 9 Muharram 1200, bertepatan dengan 1786 Masehi di Desa
Tempuran, Kendal. Ayahnya seorang penghulu bernama Muhammad Marhum bin Abi
Sujak Wijaya alias Raden Sucowijoyo, sedangkan ibunya Siti Rochmah
(www.ahmadrifai.org).
Pada masa mudanya, Ahmad Rifa'i
sering melakukan tablig keliling di daerah Kendal dan sekitarnya. Dalam
dakwahnya dia tidak hanya menyampaikan masalah-masalah agama, tapi juga sosial
masyarakat khususnya persoalan kolonialisme yang telah membawa kemiskinan. Karena
itu, beberapa kali Kiai Rifa'i diperingatkan oleh Pemerintah Hindia Belanda,
bahkan pernah dimasukkan dalam penjara di Kendal dan Semarang.
Setelah beberapa kali keluar
masuk penjara Kendal dan Semarang karena dakwahnya yang tegas, dalam usia 30
tahun, Ahmad Rifai berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan
memperdalam ilmu agama di Timur Tengah selama 20 tahun. Pada usia 51 tahun,
Ahmad Rifai pulang ke Kendal. Sebagai ustad yang baru datang dari Tanah Suci,
KH Ahmad Rifai mendapat perhatian dan simpati pada santri. Karena selain
mengajarkan ilmu-ilmu agama, beliau juga menyampaikan pentingnya semangat sikap
anti penjajah dalam setiap pengajiannya.
Karena kritik-kritiknya yang
tajam tersebut, dia dilaporkan kepada Pemerintah Belanda dengan tuduhan membuat
kerusuhan. Kemudian, Kyai Rifa'i ditangkap untuk dimintai keterangan sehubungan
dengan kegiatan dakwahnya. Setelah dibebaskan, KH Rifai dikucilkan keluar dari
Kaliwungu dan ditempatkan di Kalisalak Kabupaten Batang pada 1838 M. Di tempat
terpencil itu Kiai Rifai merasa prihatin karena dalam keadaan berduka
dipisahkan dari para santrinya di Kaliwungu dan melihat keadaan penduduknya
yang terbelakang.
Di dalam pondok terpencil dan
jauh dari jangkauan kontrol Pemerintah Hindia Belanda itu Kyai Rifai yang
semakin termashur lebih berkonsentrasi mengkader santri-santrinya. Ternyata
kehadiran Kiai Rifai juga dikagumi oleh seorang janda demang yang kaya bernama
Sujinah. Keduanya lalu melangsungkan pernikahan. Perkawinan itu semakin
memperkuat kedudukannya di Desa Kalisalak dan di tempat yang terpencil itulah
dia mendidik kader-kader militan untuk menjaga dan meneruskan ajarannya.
Karena itu, Belanda menggangap
sikap nasionalisme Kiai Rifai sebagai ancaman bagi pemerintahannya. Walaupun
secara nyata tidak menjurus sebagai gerakan politik Islam, pemahaman kafir
terhadap Belanda yang telah menindas bangsa Indonesia dikhawatirkan memunculkan
gerakan anti penjajahan.
Ternyata sikap dan semangat yang
diajarkan Kiai Rifai itu benar-benar meresap di hati masyarakat. Karena
ajarannya dianggap mengancam dan pengikutnya bertambah banyak. Maka, KH Ahmad
Rifai ditangkap dan mengalami persidangan panjang atas tuduhan menghasut,
mendoktrin jamaah membuat syair-syair protes dan beberapa kitab yang isinya
anti kolonial Belanda. Tuduhan itu dari wedono Kalisalak yang meminta agar Haji
Ahmad Rifai diasingkan dari Kalisalak ternyata tidak bisa dibuktikan
sebagaimana dalam surat keputusan kelima dari Gubernur Jenderal Duymaer Van
Twist yang dibuat pada tanggal 2 Juli 1855 menyatakan bahwa seluruh tuduhan
terhadap Haji Ahmad Rifai belum bisa dibuktikan, dan perlu diperiksa dalam
persidangan biasa. Untuk sementara waktu waktu perkara tersebut ditutup.
Pada tahun 1856 Jendral Albertus
Jacub Duymaer Van Twist oleh Jendral Charles Ferdinand Pahud, Wedono Kalisalak
memandang perlu untuk mengangkat kembali permasalahan pengasingan Kiai Haji
Ahmad Rifai, namun ternyata Jendral Pahud pun menyatakan menolak sebagaimana
yang ditulis dalam suratnya tertanggal 23 November 1858.
Pada tanggal 6 Mei 1859 secara
resmi Haji Ahmad Rifai dipanggil Residen Pekalongan Franciscus Netscher untuk
pemeriksaan terakhir dan syarat untuk memenuhi pengasingan ke Ambon. Sejak
tanggal 6 Mei 1859 Haji Ahmad Rifai sudah tidak diperkenankan kembali ke rumah
lagi untuk menunggu keberangkatan pengasingan hingga tanggal 9 Mei 1859,
berdasarkan surat keputusan No.35 tertanggal 19 Mei 1859 K.H. Ahmad Rifai
meninggalkan jamaah beserta para keluarganya karena mulai hari itu beliau
diasingkan di Ambon, Maluku.
Atas jasa-jasa dan pengorban
ulama tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan
Nasional kepada KH Ahmad Rifai. Penganugerahan itu diberikan sesuai dengan
Keppres No 089/TK/Tahun 2004 (Suara Merdeka/19/1/2005).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar