JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan tingkat kehadiran
para wakil rakyat menjadi hal yang mendapatkan sorotan publik menjelang
berakhirnya masa bakti anggota DPR 2009-2014. Wajar, masyarakat tentunya
tak ingin beli kucing dalam karung. Apalagi, sebagian besar anggota DPR
saat ini kembali mencalonkan diri dalam Pemilu 2014. Rekam jejak mereka
perlu diketahui publik.
Bagi anggota Dewan, mereka merasa tak harus hadir secara fisik dalam setiap rapat kedewanan. Tapi, apa jadinya bila ruang rapat paripurna dan rapat komisi selalu kosong?
Saat partai-partai politik mendaftarkan para bakal calegnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), terungkap bahwa ada partai yang kembali mencalonkan kadernya yang selama ini diketahui jarang terlihat hadir. Salah satu bakal caleg yang diajukan PDI Perjuangan yakni Sukur Nababan yang maju dari daerah pemilihan Jawa Barat II ternyata sempat tersangkut kasus absensi.
Anggota Badan Kehormatan DPR Ali Maschan Musa mengatakan, Sukur sudah sembilan kali tidak mengikuti rapat paripurna maupun rapat komisi. Karena tak hadir tanpa keterangan, Sukur pun dipanggil BK sebanyak dua kali. Pada pemanggilan pertama, Sukur tidak datang dengan alasan sakit. Pada pemanggilan kedua, Sukur hadir dengan membawa surat keterangan sakit. Ia mengatakan, selama ini menjalani perawatan atas sakit yang dideritanya.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mengungkapkan bahwa Suku tengah sakit keras. Lalu, apa alasan Sukur kembali dicalonkan PDI Perjuangan jika ternyata mengidap penyakit keras?
"Yang saya ketahui Sukur Nababan sakit serius dan sampai dibawa ke Singapura. Tapi sekarang sudah membaik. Tidak ada larangan orang yang habis sakit terus tidak boleh dicalonkan," ujar Tjahjo, saat dihubungi, Rabu (8/5/2013).
Alasan lainnya, Sukur dianggap punya dukungan kuat dari daerah pemilihan di Jawa Barat VI yang mencakup Depok dan Bekasi. Sukur, kata Tjahjo, juga sudah menyampaikan surat dokter terkait kondisi kesehatannya.
"Namun, staf Saudara Sukur lupa melakukan proses surat izin ke Sekjen DPR. Izin kalau ke fraksi ada," kilah Tjahjo.
Hingga kini, BK masih mendalami alasan sakit yang digunakan Sukur ini. Wakil Ketua BK Abdul Wahab Dalimunthe mengatakan akan segera menyimpulkan keputusan atas kasus Sukur dalam pekan ini, setelah DPR kembali aktif bersidang pasca reses selama satu bulan.
“Begitu masuk kami akan langsung memutuskan kasus ini,” ucapnya.
Pasalnya, di luar alasan sakit, Sukur diketahui aktif menjalankan bisnis multilevel marekting di daerah pemilihannya. Jika alasan sakit yang digunakan Sukur tidak terbukti, maka yang bersangkutan bisa diberhentikan sebagai anggota Dewan.
Kasus lain
Perkara anggota Dewan yang "hobi" membolos tidak hanya terjadi pada Sukur. Sebelumnya, BK bahkan sudah menjatuhkan sanksi kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra Widjono Hardjanto. Widjono resmi dipecat secara tetap sebagai anggota DPR. Pengumuman pemecatan dibacakan oleh Wakil Ketua DPR Pramono Anung dalam rapat paripurna pada Maret 2012.
Widjono dikenai sanksi setelah terbukti melanggar UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), yaitu tidak dapat melaksanakan tugas keberlanjutan sebagai anggota Dewan selama dua bulan berturut-turut. Widjono yang menjadi anggota di Komisi VII memang sudah lama tidak hadir di rapat-rapat DPR. Dikabarkan, ia mengidap penyakit kanker getah bening yang parah sejak pertama kali dilantik sehingga harus mengikuti berbagai pengobatan dan terapi di luar negeri.
Ada pula kasus Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang tertangkap kamera hanya membubuhkan tanda tangan di lembar kehadiran kemudian pergi meninggalkan ruang paripurna. Pemberitaan dan sorotan tajam membuat putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini memutuskan mundur sebagai anggot DPR. Ibas berdalih ia ingin fokus mengurus partai dan anaknya yang saat itu sedang dirawat di rumah sakit. Namun, meski mundur dari DPR, Ibas kembali mengadu peruntungan menjadi wakil rakyat pada Pemilu 2014.
Tak tahu malu
Selain kasus-kasus di atas, secara kasat mata sebenarnya masih banyak lagi anggota DPR yang kerap mangkir dari tugasnya. Mereka-mereka yang pembolos bukan hanya anggota biasa, melainkan juga pimpinan fraksi yang seharusnya memberikan sanksi tegas kepada para anggotanya yang membolos. Hal ini pun disadari anggota BK Ali Maschan Musa.
"Badan Kehormatan (BK) hanya sebatas menganjurkan pimpinan fraksi. Pimpinan fraksi diundang ke BK. Tapi ironisnya, malah banyak pimpinan fraksi yang malas. Mereka hadir belakangan dalam rapat," ujar Ali, saat dihubungi pada Jumat (10/5/2013).
Ali mendukung jika data kehadiran para anggota Dewan diungkap ke publik. Meski tidak tercantum dalam tata tertib beracara BK,menurutnya, BK bisa saja membuat kebijakan sendiri dengan dasar desakan masyarakat.
“BK itu kan kerjanya untuk masyarakat, menegakkan etika para anggota Dewan. Jadi, selama itu maunya masyarakat, seharusnya BK bisa membuka data itu untuk gambaran masyarakat dalam Pemilu nanti. Seharusnya memang para anggota pembolos tak usah lagi dipilih,” paparnya.
Sementara itu, Ketua DPR Marzuki Alie tak habis pikir dengan ulah para wakil rakyat pembolos yang nekat maju lagi dalam pileg 2014. Marzuki menuding mereka sudah tak punya malu sehingga berani mencalonkan diri lagi.
Kendati mengecam pencalonan para legislator pembolos, Marzuki pesimistis dengan rencana dibukanya data kehadiran para anggota Dewan. Pasalnya, selama ini absensi dilakukan secara manual, sehingga bisa saja direkayasa. Marzuki mendukung penerapan sistem absensi sidik jari pada saat datang dan meninggalkan ruang rapat.
Bagaimana dengan absensi sidik jari?
Untuk mencegah masyarakat memilih para legislator yang malas, tentu diperlukan sebuah bukti otentik data absensi para anggota Dewan. Namun, untuk mendapatkan data ini bukanlah perkara mudah. Kompas.com sempat mencari data itu ke Badan Kehormatan DPR. Namun, Sekretariat BK mengaku tak memiliki data absensi sidik jari yang dipercaya lebih valid daripada absensi manual dengan tanda tangan. Salah seorang petugas BK mengarahkan Kompas.com ke bagian Biro Persidangan Paripurna. Setali tiga uang, petugas di biro itu mengaku tak memiliki data absensi sidik jari yang mulai diterapkan pertengahan 2012 itu.
Salah seorang petugas kemudian mengarahkan lagi ke Pusat Pengolahan dan Penyimapanan Data Informasi (P3DI) DPR. Kepala Biro P3DI Damayanthi pun mengaku tak mendapat data itu. Ia justru menuding Biro Persidanga Paripurna yang paling memahami data absensi anggota Dewan. P3DI, katanya, hanya mengurus absensi sidik jari karyawan DPR.
Salah seorang petugas P3DI kemudian menyebutkan bahwa absensi sidik jari selama ini dipegang oleh pihak ketiga, bukan oleh biro-biro di DPR. Namun, ia enggan mengungkap pihak ketiga yang dimaksud.
“Itu urusannya Persidangan Paripurna atau Biro persidangan,” katanya.
Petugas di Biro Persidangan DPR mengungkapkan alasan mengapa data absensi sulit diungkap ke publik. “Kami juga gemas dengan ulah anggota Dewan, makanya kami pernah bocorkan data itu ke media. Langsung kami diprotes habis-habisan sama anggota dewan, repot mbak urusannya,” kata pria itu.
Sejak itu, lanjutnya, setiap kesekretariatan tak pernah mau membocorkan data itu ke publik. Sekarang, ketika publik menuntut transparansi, beranikah DPR mengungkap data itu ke publik?
Bagi anggota Dewan, mereka merasa tak harus hadir secara fisik dalam setiap rapat kedewanan. Tapi, apa jadinya bila ruang rapat paripurna dan rapat komisi selalu kosong?
Saat partai-partai politik mendaftarkan para bakal calegnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), terungkap bahwa ada partai yang kembali mencalonkan kadernya yang selama ini diketahui jarang terlihat hadir. Salah satu bakal caleg yang diajukan PDI Perjuangan yakni Sukur Nababan yang maju dari daerah pemilihan Jawa Barat II ternyata sempat tersangkut kasus absensi.
Anggota Badan Kehormatan DPR Ali Maschan Musa mengatakan, Sukur sudah sembilan kali tidak mengikuti rapat paripurna maupun rapat komisi. Karena tak hadir tanpa keterangan, Sukur pun dipanggil BK sebanyak dua kali. Pada pemanggilan pertama, Sukur tidak datang dengan alasan sakit. Pada pemanggilan kedua, Sukur hadir dengan membawa surat keterangan sakit. Ia mengatakan, selama ini menjalani perawatan atas sakit yang dideritanya.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mengungkapkan bahwa Suku tengah sakit keras. Lalu, apa alasan Sukur kembali dicalonkan PDI Perjuangan jika ternyata mengidap penyakit keras?
"Yang saya ketahui Sukur Nababan sakit serius dan sampai dibawa ke Singapura. Tapi sekarang sudah membaik. Tidak ada larangan orang yang habis sakit terus tidak boleh dicalonkan," ujar Tjahjo, saat dihubungi, Rabu (8/5/2013).
Alasan lainnya, Sukur dianggap punya dukungan kuat dari daerah pemilihan di Jawa Barat VI yang mencakup Depok dan Bekasi. Sukur, kata Tjahjo, juga sudah menyampaikan surat dokter terkait kondisi kesehatannya.
"Namun, staf Saudara Sukur lupa melakukan proses surat izin ke Sekjen DPR. Izin kalau ke fraksi ada," kilah Tjahjo.
Hingga kini, BK masih mendalami alasan sakit yang digunakan Sukur ini. Wakil Ketua BK Abdul Wahab Dalimunthe mengatakan akan segera menyimpulkan keputusan atas kasus Sukur dalam pekan ini, setelah DPR kembali aktif bersidang pasca reses selama satu bulan.
“Begitu masuk kami akan langsung memutuskan kasus ini,” ucapnya.
Pasalnya, di luar alasan sakit, Sukur diketahui aktif menjalankan bisnis multilevel marekting di daerah pemilihannya. Jika alasan sakit yang digunakan Sukur tidak terbukti, maka yang bersangkutan bisa diberhentikan sebagai anggota Dewan.
Kasus lain
Perkara anggota Dewan yang "hobi" membolos tidak hanya terjadi pada Sukur. Sebelumnya, BK bahkan sudah menjatuhkan sanksi kepada Ketua Fraksi Partai Gerindra Widjono Hardjanto. Widjono resmi dipecat secara tetap sebagai anggota DPR. Pengumuman pemecatan dibacakan oleh Wakil Ketua DPR Pramono Anung dalam rapat paripurna pada Maret 2012.
Widjono dikenai sanksi setelah terbukti melanggar UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), yaitu tidak dapat melaksanakan tugas keberlanjutan sebagai anggota Dewan selama dua bulan berturut-turut. Widjono yang menjadi anggota di Komisi VII memang sudah lama tidak hadir di rapat-rapat DPR. Dikabarkan, ia mengidap penyakit kanker getah bening yang parah sejak pertama kali dilantik sehingga harus mengikuti berbagai pengobatan dan terapi di luar negeri.
Ada pula kasus Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono yang tertangkap kamera hanya membubuhkan tanda tangan di lembar kehadiran kemudian pergi meninggalkan ruang paripurna. Pemberitaan dan sorotan tajam membuat putra bungsu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini memutuskan mundur sebagai anggot DPR. Ibas berdalih ia ingin fokus mengurus partai dan anaknya yang saat itu sedang dirawat di rumah sakit. Namun, meski mundur dari DPR, Ibas kembali mengadu peruntungan menjadi wakil rakyat pada Pemilu 2014.
Tak tahu malu
Selain kasus-kasus di atas, secara kasat mata sebenarnya masih banyak lagi anggota DPR yang kerap mangkir dari tugasnya. Mereka-mereka yang pembolos bukan hanya anggota biasa, melainkan juga pimpinan fraksi yang seharusnya memberikan sanksi tegas kepada para anggotanya yang membolos. Hal ini pun disadari anggota BK Ali Maschan Musa.
"Badan Kehormatan (BK) hanya sebatas menganjurkan pimpinan fraksi. Pimpinan fraksi diundang ke BK. Tapi ironisnya, malah banyak pimpinan fraksi yang malas. Mereka hadir belakangan dalam rapat," ujar Ali, saat dihubungi pada Jumat (10/5/2013).
Ali mendukung jika data kehadiran para anggota Dewan diungkap ke publik. Meski tidak tercantum dalam tata tertib beracara BK,menurutnya, BK bisa saja membuat kebijakan sendiri dengan dasar desakan masyarakat.
“BK itu kan kerjanya untuk masyarakat, menegakkan etika para anggota Dewan. Jadi, selama itu maunya masyarakat, seharusnya BK bisa membuka data itu untuk gambaran masyarakat dalam Pemilu nanti. Seharusnya memang para anggota pembolos tak usah lagi dipilih,” paparnya.
Sementara itu, Ketua DPR Marzuki Alie tak habis pikir dengan ulah para wakil rakyat pembolos yang nekat maju lagi dalam pileg 2014. Marzuki menuding mereka sudah tak punya malu sehingga berani mencalonkan diri lagi.
Kendati mengecam pencalonan para legislator pembolos, Marzuki pesimistis dengan rencana dibukanya data kehadiran para anggota Dewan. Pasalnya, selama ini absensi dilakukan secara manual, sehingga bisa saja direkayasa. Marzuki mendukung penerapan sistem absensi sidik jari pada saat datang dan meninggalkan ruang rapat.
Bagaimana dengan absensi sidik jari?
Untuk mencegah masyarakat memilih para legislator yang malas, tentu diperlukan sebuah bukti otentik data absensi para anggota Dewan. Namun, untuk mendapatkan data ini bukanlah perkara mudah. Kompas.com sempat mencari data itu ke Badan Kehormatan DPR. Namun, Sekretariat BK mengaku tak memiliki data absensi sidik jari yang dipercaya lebih valid daripada absensi manual dengan tanda tangan. Salah seorang petugas BK mengarahkan Kompas.com ke bagian Biro Persidangan Paripurna. Setali tiga uang, petugas di biro itu mengaku tak memiliki data absensi sidik jari yang mulai diterapkan pertengahan 2012 itu.
Salah seorang petugas kemudian mengarahkan lagi ke Pusat Pengolahan dan Penyimapanan Data Informasi (P3DI) DPR. Kepala Biro P3DI Damayanthi pun mengaku tak mendapat data itu. Ia justru menuding Biro Persidanga Paripurna yang paling memahami data absensi anggota Dewan. P3DI, katanya, hanya mengurus absensi sidik jari karyawan DPR.
Salah seorang petugas P3DI kemudian menyebutkan bahwa absensi sidik jari selama ini dipegang oleh pihak ketiga, bukan oleh biro-biro di DPR. Namun, ia enggan mengungkap pihak ketiga yang dimaksud.
“Itu urusannya Persidangan Paripurna atau Biro persidangan,” katanya.
Petugas di Biro Persidangan DPR mengungkapkan alasan mengapa data absensi sulit diungkap ke publik. “Kami juga gemas dengan ulah anggota Dewan, makanya kami pernah bocorkan data itu ke media. Langsung kami diprotes habis-habisan sama anggota dewan, repot mbak urusannya,” kata pria itu.
Sejak itu, lanjutnya, setiap kesekretariatan tak pernah mau membocorkan data itu ke publik. Sekarang, ketika publik menuntut transparansi, beranikah DPR mengungkap data itu ke publik?
Editor :
Inggried Dwi Wedhaswary