1. Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi wanita
menggunakan alat pencegah haid, tapi dengan dua syarat:
a.
Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. Bila
dikhawatirkan membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka
hukumnya tidak boleh. Berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
"...Dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan...” ( Al-Baqarah : 195).
"…Dan janganlah kamu
membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu." (An
Nisa': 29).
b.
Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut
mempunyai kaitan denganya. Contohnya, si isteri dalam keadaan beriddah dari
suami yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat
pencegah haid supaya lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang
diberikannya. Hukumya, tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat pencegah
haid saat itu kecuali dengan izin suami.
Demikian pula jika
terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah kehamilan,maka harus dengan
seizin suami. Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan
alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan sesuatu secara
alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.
2. Perangsang Haid
Diperbolehkan juga penggunaan
alat perangsang haid, dengan dua syarat:
a. Tidak
menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu
kewajiban. Misalnya, seorang wanita menggunakan alat perangsang haid pada saat
menjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan
tujuan negatif lainnya.
b. Dengan
seizin suami karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami
isteri. Maka tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat yang dapat menghalangi
hak sang suami kecuali dengan restunya. Dan jika si isteri dalam keadaan talak,
maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurya hak rujuk bagi sang suami jika
ia masih boleh rujuk.
3. Pencegah Kehamilan
Ada dua macam penggunaan alat
pencegah kehamilan:
a. Penggunaan
alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh hukumnya,
sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah
keturunan. Dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu alaihi
wasalam agar memperbanyak jumlah umat Islam, selain itu bisa saja
anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup
menjanda seorang diri tanpa anak.
b. Penggunaan
alat yang dapat mencegah kehamilan sementara. Contohnya, seorang wanita yang
sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengatur jarak
kehamilannya menjadi dua tahun sekali. Maka penggunaan alat ini diperbolehkan
dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya.
Dalilnya, bahwa para sahabat pernah melakukan 'azl terhadap isteri mereka pada
zaman Nabi shallallahu alaihi wasalam untuk menghindari kehamilan dan
Nabi shallallahu alaihi wasalam tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan -
pada saat bersenggama - dengan menumpahkan sperma diluar farji (vagina) si
isteri.
4. Penggugur Kandungan
Adapun penggunaan alat
penggugur kandungan, ada dua macam:
a.
Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan
membinasakan janin. Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak
syak lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwa yang dihormati tanpa dasar
yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur'an,
Sunnah dan ijma' kaum Muslimin. Namun, jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama
berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi
melarang. Ada pula yang mengatakan boleh sebelum berbentuk darah,artinya
sebelum benrmur 40 hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk
manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati
adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali
jika ada kepentingan Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan
tidak mampu lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali
jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia maka tidak boleh.
Wallallahu A 'lam.
b. Penggunaan
alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya,
sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis
masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya,
dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya dan tidak
memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada
empat hal:
1. Jika
ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan
operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti: sulit bagi si ibu untuk
melahirkan sehingga perlu dioperasi. Hal itu demikian, karena tubuh adalah
amanat Allah yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh memperlakukannya
dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat besar. Selain
itu dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini, tapi temyata membawa
bahaya.
2. Jika
ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh
dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
3. Jika
si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh
dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan
membahayakan si ibu. Sebab, menurut pengalaman-Wallallahu a'lam - bayi
yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan
operasi. Kalapun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan si
ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap
hidup tak bersuami jika ia dalam keadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
4. Jika
si ibu meninggal, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi
ini,jika bayi yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk hidup, maka
tidak boleh dilakukan operasi. Namun, jika ada harapan untuk hidup, seperti
sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut
ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi,jika sebagian tubuh bayi belum
ada yang keluar,maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan
pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya,karena
hal itu merupakan tindakan penyiksaan.
Yang benar, boleh dilakukan
pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara
lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan
dalam kitab Al Inshaf, "Pendapat ini yang lebih utama".
Apalagi pada zaman sekarang ini,operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya. Wallahu a'lam.
Perhatian:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur kandungan sebagaimana
di atas (untuk mempercepat proses kelahiran), harus ada izin dari pihak pemilik
kandungan, yaitu suami.