Al-Ustadz
Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi
Kasih ibu
sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Begitu bunyi ungkapan yang
menggambarkan betapa besar kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya.
Demikianlah realitanya. Betapapun besarnya balas budi seorang anak, ia tidak
akan mampu menyamai apa yang telah diberikan orang tua kepadanya. Sudah
sepantasnya seorang anak berbuat baik dan menaati perintah orang tua, selama
mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Dalam
permasalahan ketaatan kepada orang tua, manusia terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama, menaati segala perintah kedua
orang tua tanpa melihat perintah tersebut sesuai dengan syariat atau tidak. Hal
ini termasuk ifrath (melampaui batas).
Kedua, tidak mau menaati perintah
kedua orang tua walaupun perintah tersebut tidak dalam bermaksiat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Sikap ini adalah tafrith (meremehkan).
Ketiga, menaati perintah keduanya
selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat dan menolak perintah
itu bila menyelisihi syariat.
Semuanya ini
dapat kita lihat dalam kehidupan kaum muslimin sehari-hari. Lalu manakah sikap
yang benar dalam menaati perintah kedua orang tua?
Adapun
kelompok pertama yang menaati semua perintah orang tua baik perintah tersebut
bermaksiat atau tidak, sangat bertentangan dengan apa yang disabdakan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tidak ada
ketaatan kepada seorang pun di dalam bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya
ketaatan itu di dalam kebajikan.” (HR. Al-Bukhari no. 40 dan Muslim no. 39 dari
shahabat Ali bin Abi Thalib)
Abu ‘Amr
Ad-Dani ‘Utsman bin Sa’id Al-Qurthubi berkata: “Tidak ada ketaatan kepada
seorang makhluk pun di dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq. Tidak pula bernadzar
dalam bermaksiat dan mensyaratkan dengan syarat yang mengandung maksiat.
Ketaatan itu pada perkara yang baik.” (lihat Ar-Risalah Al-Wafiyah hal. 114)
Kelompok
kedua yaitu yang tidak mau taat pada apa yang diperintahkan kedua orang tua
baik dalam perkara yang diridhai oleh Allah ataupun tidak. Ini bertentangan
dengan firman-Nya:
“Sungguh
Rabbmu telah memerintahkan agar kalian tidak menyembah selain kepadanya dan
berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (Al-Isra: 23)
“Katakan:
Marilah kubacakan apa yang telah diharamkan kepada kalian oleh Rabb kalian
yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
kepada kedua orang tua.” (Al-An’am: 151)
Juga sangat
bertentangan dengan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di
antaranya:
Dari Abu
Abdirrahman bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Amalan apa yang paling dicintai oleh
Allah?’ Beliau berkata: ‘Shalat pada waktunya.’ Aku berkata: ‘Kemudian apa?’
Beliau berkata: ‘Berbuat baik kepada kedua orang tua.’ Aku berkata: ‘Kemudian
apa?’ Beliau berkata: ‘Jihad di jalan Allah’.” (HR. Al-Bukhari, 10/336 dan
Muslim no. 85)
Kelompok
ketiga menaati perintah kedua orang tua selama tidak bertentangan dengan
syariat Allah dalam arti tidak dalam rangka bermaksiat. Inilah sikap yang benar
sesuai dengan ayat-ayat dan hadits-hadits di atas. Tidak ifrath dan tidak pula
tafrith.
Sehingga
jika ada pertanyaan, bagaimana hukum menaati kedua orang tua? Maka jawabnya
tidak spontan wajib. Namum membutuhkan rincian. Jika perintah tersebut tidak
bertentangan dengan perintah Allah, maka wajib untuk menaatinya. Dan apabila
perintah tersebut bertentangan dengannya, maka wajib untuk tidak taat kepada
perintah keduanya. Dalilnya sebagaimana di atas.
Bagaimana
bila orang tua melarang untuk menuntut ilmu agama? Menuntut ilmu agama adalah
wajib atas setiap orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Menuntut
ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” (Shahih, HR. Al-Baihaqi dan lainnya dari
Anas dan lainnya. Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahihul Jami’ no. 3913)
Allah
berfirman:
“Berilmulah
kamu tentang Laa Ilaha illallah.”
Kita tidak
boleh menaati perintah orang tua apabila mereka memerintahkan untuk tidak menuntut
ilmu karena termasuk bermaksiat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
“Tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah akan tetapi ketaatan itu
dalam kebajikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Wallahu
a’lam.
[Diambil
dari artikel "Cinta yang Tak Mungkin Terbalas" oleh Al-Ustadz Abu
Usamah bin Rawiyah An-Nawawi dari Majalah Asy Syariah no. 08/I/1425 H/2004,
hal. 53-54]