Figur seorang pendidik haruslah memiliki
kelebihan dalam kualitas kepribadiannya bukan kelebihan dalam bentuk
kepemilikan berupa material maupun keturunan. Kelebihan dalam konteks ini yaitu
hikmah. Dalam tafsir Ath-Thabari (Kairo, 2005: 6553-6555) hikmah diartikan
sebagai pemahaman dalam agama, kekuatan berfikir, ketepatan dalam berbicara.
Implikasi dari makna hikmah bagi
figur pendidik adalah bahwa seorang pendidik selain senantiasa berusaha
meningkatkan kemampuan akademiknya, ia pun berupaya menselaraskan dengan
amalannya. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari dalam kitabul ‘ilmi bab Al-Igtibat fil ‘ilmi wal hikmah (Ibnu
Hajar Al-‘Asqolani dalam kitab Fathul Bari, 1997: 219) ketika menjelaskan
bolehnya hasad, salah satunya kepada seseorang yang Allah berikan hikmah lalu
ia amalkan dan ajarkan kepada orang lain. Kemudian syukur”. Konsep syukur dalam
hal ini adalah menyiratkan pemahaman pendidik terhadap dirinya sendiri yang
menjadi bagian dari nilai pendidikan, yaitu sebagai salah satu syarat yang
harus dimiliki oleh pendidik. Saifudin Aman dalam bukunya yang berjudul: “8
Pesan Luqman Al-Hakim” (Jakarta, 2008: 80) menjelaskan bahwa makna syukur
berarti meningkatkan seluruh potensi yang diberikan oleh Allah baik fisik,
mental maupun spiritual. Adapun bentuknya, yaitu: Pertama, dengan mengucapkan
Alhamdulillah. Kedua, dengan merasakan dan menikmati dengan segenap jiwa dan
raga. Ketiga, menjadikannya sebagai pemicu untuk meningkatkan kualitas hidup,
ibadah, amal baik dan prestasi.
Bahwa pendidikan harus berlandaskan
aqidah dan komunikasi efektif antara pendidik dan anak didik yang didorong oleh
rasa kasih sayang serta direalisasikan dalam pemberian bimbingan dan arahan
agar anak didiknya terhindar dari perbuatan yang dilarang. Oleh karena itu,
Al-Ghazali dalam “Ihya ‘Ulumuddin” (Al-Manshurah, 1996: 85) menyebutkan
bahwa salah satu diantara tugas pendidik ialah menyayangi anak didiknya
sebagaimana seorang ayah menyayangi anaknya, bahkan lebih. Dan selalu
menasehati serta mencegah anak didiknya agar terhindar dari akhlak tercela.
Dari segi anak didik, bahwa sesuatu
yang tidak boleh dilakukan oleh anak didik tidak hanya sebatas larangan, tetapi
juga diberi argumentasi yang jelas mengapa perbuatan itu dilarang serta usaha
untuk menghindar dari persoalan yang dilarang. Anak didik diajak berdialog
dengan menggunakan potensi pikirnya agar potensi itu dapat berkembang dengan
baik, dengan demikian materi pendidikan lebih mudah diterima anak didik. hendaknya
seorang pendidik menempatkan anak didiknya sebagai objek yang memiliki potensi
fikir.
berbuat baik kepada kedua orang tua
disampaikan melalui anjuran untuk menghayati penderitaan dan susah payah ibunya
selama mengandung. Metode seperti ini merupakan cara memberi pengaruh dengan
menggugah emosi anak didik, sehingga berdampak kuat terhadap perubahan sikap
dan perilaku sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Bahwa peran pendidik (orang tua)
tidaklah segalanya, melainkan terbatas dengan peraturan dan norma-norma ilahi,
berdasarkan firman Allah: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya..”. Implikasi pemaknaan tersebut terhadap peran
pendidik adalah bahwa pendidik tidak mendominasi secara mutlak kepada tingkah
laku anak didik, tetapi anak didik didorong untuk aktif mengembangkan kemampuan
berfikirnya untuk menyelidiki nilai yang diberikan berdasarkan pengetahuan yang
telah dimilikinya yang berlandaskan kepada nilai-nilai ilahiyah.
Tujuan pendidikan, yaitu pengarahan
kepada perilaku manusia untuk meyakini bahwa tidak ada sesuatu yang sia-sia.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wasiat Luqman dalam ayat ini dimaksudkan
untuk mengusik perasaan anaknya agar tumbuh keyakinan akan kekuasaan Allah yang
tidak terbatas. Jika keyakinan ini tumbuh, maka akan lahir pula sikap-sikap dan
perbuatan baik, sesuai dengan keyakinan akan keMahatahuan Allah yang telah
tertanam dalam dirinya.
pendidikan melalui penghayatan yang
melibatkan lingkungan untuk memperoleh penguatan yang lebih mendalam, tidak
hanya sebatas pengetahuan. Hal ini merupakan upaya komunikasi melalui kata-kata
yang mendekatkan makna nilai yang dididiknya dengan pengalaman yang telah
dimiliki anak didik.
Pengungkapan materi pendidikan
melalui perumpamaan yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman anak didik
mengenai suatu konsep yang abstrak dengan cara mengambil sesuatu yang telah
diketahuinya sebagai bandingan, sehingga sesuatu yang baru itu dapat dipahami
karena terkait dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya (apersepsi).
Kata-kata “di dalam batu”, “di langit”, atau “di perut bumi” merupakan
ungkapan-ungkapan yang dikenal dan dipersepsi keadaannya oleh anak didik
sebagai sesuatu yang tidak mungkin diketahuinya, karena keadaannya yang jauh,
dalam dan tidak terjangkau oleh pengetahuan manusia. Dalam tempat dan keadaan
seperti itu, sebuah biji sawi yang kecil diketahui oleh Allah.
Dalam Surat Luqman Ayat 18 Luqmanul
Hakim mengatakan: “Jangan kamu palingkan wajahmu dari manusia ketika berbicara
kepada mereka atau mereka berbicara denganmu karena merendahkan mereka dan
sombong kepada mereka. Akan tetapi berlemah lembutlah kamu, dan tampakkan
keramahan wajahmu pada mereka (Sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsir
Al-Qur’nul ‘Adzim, Kairo, 2000: 56). Ini menunjukan etika berinteraksi dengan
lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sopan dan rendah hati dapat dipandang
sebagai materi yang sangat penting untuk diajarkan sebagai bekal
bersosialisasi.
Allah Ta’ala berfirman:“Dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan
sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37)
Allah berfirman: “Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” Nilai pendidikan yang terdapat
dalam ayat ini berkaitan dengan metode pendidikan, yaitu menyampaikan
komunikasi melalui pemisalan. Tamtsil yang dimaksud adalah keledai
dengan sifat yang melekat dalam dirinya yang digunakan untuk mengumpamakan
orang yang bersuara keras. Sedangkan tujuan yang tersirat di dalamnya adalah
agar terdidik tidak berbuat sombong, tetapi dapat berkata dan berperilaku lemah
lembut dan sopan.
Selain itu, dalam ayat ini binatang
(keledai) digunakan sebagai alat pendidikan. Penggunaaan alat pendidikan yang
diambil dari lingkungan yang akrab dengan anak didik mengandung makna dan nilai
paedagogis yang dalam, karena komunikasi pendidikan yang ditunjang oleh alat
pendidikan akan memungkinkan terjadinya komunikasi yang efektif, yaitu
anak didik dapat menyerap makna didikan secara utuh, karena alat yang
digunakan telah dikenal secara akrab oleh terdidik. Dengan demikian materi
pendidikan dapat disampaikan dengan baik yang dalam konteks ayat ini adalah
adab kesopanan. Wallahua’lam
1 komentar:
The post is nice, but I have question for writer about tarajumah......
is there any role and relationship with the national education tarajumah?
what is the relationship with the national education tarajumah
what tarajumah role in building the character of young people?
thank you...
I wait your answer for accurate description
Posting Komentar