Perkembangan batik yang banyak terjadi di daerah santri membuat pengaruh Islam turut mewarnai perkembangan batik. Dan tak heran jika batik juga merupakan media perjuangan muslim dan dakwah di bumi pertiwi ini.
Wujud pengaruh kuat Islam dalam seni batik salah satunya dapat ditemukan pada batik Rifa’iyah. Nama “Rifa’iyah” diambil dari nama tarekat yang didirikan oleh KH Ahmad Rifa’i. Komunitas Rifa’iyah muncul di Kalisalak, kabupaten Batang, Jawa Tengah pada kisaran tahun 1850.
Kemunculan dan perkembangan batik Rifa’iyah dipengaruhi oleh budaya pesisir. Disebut pula sebagai batik “Tiga Negeri” karena Batik Rifa’iyah basic teknisnya berasal dari Solo dan Jogja, namun bentuk serta warna Pekalongan begitu kental.
Awalnya, batik ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan sandang, namun dalam perkembangannya malah bisa membantu peningkatan perekonomian rumah tangga. Membatik oleh komunitas ini merupakan pekerjaan yang dilakoni sejak kecil. Dahulu, membatik dilakukan oleh para wanita ketika ketika mulai beranjak dewasa atau menunggu dilamar. Untuk mempersiapkan hari pernikahan, para wanita dipastikan akan membuat batikan paling bagus dari sekian batikan yang telah dihasilkan. Hasil batikan tersebut akan dikenakan berbarengan dengan mempelai laki-laki.
Jusuf Kalla Terkesan
Batik Rifa'iyah ternyata pernah membuat terkesan mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla saat mengunjungi RS QIM di Batang, Jawa Tengah. “Ini batik sangat bagus, apa namanya?” tanya JK. Lantas pegawai RS QIM pun menjawab, “Ini batik Syar’i Rifaiyah Pak,” jawab petugas tersebut.
Batik tersebut memang terlihat indah dengan motif bunga-bunga dan tumbuhan. Batik asli Kabupaten Batang ini tidak kalah kualitasnya dengan batik Pekalongan yang sudah mendunia. Batik Rifaiyah memang memegang syariat Islam, motif yang digambar pada kain tidak melanggar syariat.
Batik Rifa'iyah
Batik Rifa’iyah menghindari unsur-unsur motif binatang atau manusia. Kalaupun motif tersebut digunakan maka ia digambarkan secara tidak utuh. Misalnya, dengan hanya menggambarkan sayapnya atau membuat guratan di lehernya, sehingga mengesankan gambar hewan yang disembelih.
Selain cara itu, penggambaran juga dilakukan dengan menggayakan anggota tubuh tertentu dari mahluk hidup yang digambarkan. Misalnya, mengganti kaki burung dengan ranting atau cabang pohon, kepala ayam dengan bunga, atau ekor burung dengan juntaian dedaunan yang panjang. Cara-cara itu merupakan penerapan ajaran Islam yang melarang penggambaran mahluk hidup seperti bentuk aslinya.
Biasanya Batik Rifa’iyah dibuat dalam bentuk kain panjang, sarung, dan selendang. Kain panjang dan sarung dimaksudkan sebagai pakaian yang berfungsi fisis (penutup aurat). Batik Rifa’iyah menjadi sebuah lambang status sosial dan dipakai masyarakat Rifa’iyah berdasarkan pertimbangan nilai moral dan kesopanan. Sehingga batik menjadi pengenal masyarakat Rifa’iyah, selain itu lewat jarik atau sarung dapat mempererat tali persaudaraan, sekalipun berbeda daerah dan tidak saling kenal.
Bagi komunitas Rifa’iyah, membatik bukanlah kegiatan yang asing. Mereka telah melakoni aktivitas membatik sejak kecil, terutama bagi kaum wanita. Sewaktu mereka beranjak dewasa atau saat menunggu dipinang, para wanita ini membuat batik yang paling bagus dari sekian karya batik yang mereka pernah buat. Hasilnya, akan dikenakan bersama dengan mempelai pria pada acara pernikahan.
Dari sisi perupaan, Batik Rifa’iyah memiliki nilai estetis tinggi, walaupun dalam penggambarannya tidak semua obyek dapat menjadi dapat menjadi ragam motif. Menurut ajaran Islam, ragam hias yang boleh dipakai dalam komunitas ini diyakini tidak menimbulkan syirik bagi pembuat maupun pemakainya. Hamapir seluruh motif tidak menggambarkan bentuk makhluk yang hidup (manusia, binatang), kalaupun ada (binatang) dapat dipastikan bentuknya tidak sempurna atau hanya menyerupai saja. Batik Rifa’iyah diyakini oleh komunitas ini sebagai pakaian yang sah untu beribadah, sholat maupun mengaji. Model pakaian masyarakat Islam Rifa’iyah berkerudung, berbaju longgar, berlengan panjang, dan berjarik/sarung.
Sarung atau jarik bermotif Batik Rifa’iyah, selalu dijadikan pelengkap seserahan perkawinan, selain digunakan juga pada pengantin saat acara midodareni. Batik yang digunakan biasanya bermotif materos satrio atau nyah pratin. Alasan pemilihan motif tersebut karena terlihat lebih luwes dan halus, sehingga pemakainya tampak lebih elegan.
Sepintas motif Batik Rifa’iyah tidak ada bedanya dengan batik pesisir terutama batik Pekalongan. Beberapa motif, pola dan warna juga diketahui mirip dengan batik Pekalongan yang banyak terpengaruh oleh kebudayaan asing seperti Cina, Belanda dan Arab. Pembatik sangat jarang menggambarkan bentuk-bentuk makhluk hidup. Pelukisan makhluk hidup mengalami pendistorsian, misalnya burung kakinya berubah menjadi cabang atau ranting pohon. Ada juga penggambaran bentuk cacing atau ular yang kedua matanya digambarkan terlihat keluar, seperti gambar wayang beber.
Ciri khusus ragam hias dalam batik Rifa’iyah menghindari gambar-gambar mahluk hidup, bertujuan menghindarkan syirik bagi pembuat atau pemakainya. Mereka diingatkan untuk selalu menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya. Bicara tentang batik, tentu tak bisa lepas dengan dakwah Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar