JAKARTA – Pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang diatur dalam UU tentang Aparatur Sipil Negara
(ASN) bukan merupakan tenaga honorer yang versi baru, karena sebenarnya
sejak tahun 2005 pemerintah sudah melarang pengangkatan tenaga honorer.
Demikian halnya dengan tenaga honorer
kategori 2 (K2) yang tidak lulus tes, maka status mereka tidak bisa
serta merta menjadi PPPK. Dalam UU ASN, PPPK merupakan pegawai profesional.
“PPPK berbeda sama sekali dengan tenaga honorer. Jadi tenaga honorer
kategori 2 yang tidak lulus tes CPNS tidak bisa serta merta ditetapkan
menjadi PPPK,” ujar Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB Setiawan
Wangsaatmaja di Jakarta, Rabu (07/01).
Dikatakan, untuk menjadi PPPK, pintu
masuknya jelas, seperti halnya untuk CPNS. Harus melalui pengusulan dan
penetapan formasi, kinerjanya juga terukur. PPPK juga mendapatkan
remunerasi, tunjangan sosial,
dan kesejahteraan mirip sama dengan PNS. Karena itu, setiap instansi
yang mengangkat harus mengusulkan kebutuhan dan formasinya,
kualifikasinya seperti apa, serta harus melalui tes.
PPPK, seperti diatur dalam UU ASN adalah warga negara Indonesia
yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai dengan
perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sesuai dengan
kebutuhan instansi pemerintah berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka
waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. “PPPK
berhak memperoleh gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, dan
pengembangan kompetensi,” tambah Setiawan.
Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN)
Eko Soetrisno mengatakan, tenaga honorer kategori 2 yang tidak lulus
tes, nantinya tergantung instansi atau pemerintah daerah masing-masing.
Yang pasti, instansi yang punya K2 harus punya database.
Hal ini menjadi PR bersama pemerintah pusat dan pemda. Setiap instansi
yang mempekerjakan seseorang, harus jelas jenjang karirnya. “Bukan hanya
masalah status, tapi kesejahterannya juga harus diperhatikan,” tuturnya.
“Undang-undang ASN ini merupakan terobosan yang luar biasa. Karena itu jangan sampai salah membuat peraturan pelaksananya, dan kembali ke peraturan lama”,
ujar Eko dalam pengarahannya pada rapat pembentukan panitia Penyusunan
RPP Peraturan Pelaksana UU ASN di Jakarta, Rabu (08/09).
Undang-undang ini memerintahkan
pembentukan 19 PP dan 4 Peraturan Presiden. Meski DPR memberikan tenggat
waktu 2 tahun untuk menyelesaikan 23 peraturan pelaksanaan UU tersebut,
namun Menteri PANRB bertekad akan merampungkannya dalam 6 bulan.
“Sebelum masa pemerintahan Presiden SBY berakhir, semua peraturan
pelaksanaan UU ASN harus sudah rampung,” ujar Wamen.
Dikatakan, dari semua peraturan pemerintah tidak semuanya baru, tetapi ada
beberapa diantaranya yang merupakan revisi, seperti misalnya, PP
tentang batas usia pensiun PNS. “Tetapi ada juga revisi yang cukup
besar, yaitu PP tentang pengangkatan dalam jabatan, kemudian pendidikan
dan pelatihan dan lain-lain,” tambahnya.
Selain itu, ada 3 PP yang baru yaitu PP mengenai jabatan pimpinan tinggi yang harus dilakukan secara terbuka baik di tingkat nasional,
provinsi mapun daerah, dan PP mengenai Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja (PPPK). Selain PP dan Perpres, pemerintah telah
menyiapkan Peraturan Menteri PANRB mengenai tata cara pemilihan panitia
seleksi ketua dan komisioner KASN.
Eko menambahkan, dalam UU ASN ini
tidak lagi menyebut istilah eselonisasi. Yang ada adalah jabatan
pimpinan tinggi dan jabatan administrasi. UU ASN kan memindahkan
istilah eselonisasi dengan kelas jabatan, beban kerja dan juga
pencapaian kinerja. “Ini akan menjadi pekerjaan berat terutama dalam
tunjangan kinerja. Sebab tunjangan kinerja ini bersifat sementara,”
imbuh Wamen.
Tunjangan kinerja yang sekarang,
jumlahnya bervariasi antara Kementerian Keuangan, Kementerian PANRB, dan
kementerian yang lain. Dalam kondisi itu sulit dilakukan pengukuran,
antara tunjangan dan kompensasi yang diterima oleh seseorang dengan
beban kerja yang dilakukan.
Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB
Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, untuk mempercepat penyusunan RPP ini
dibagi menajdi tiga kelompok. “Penyusunan substansi dapat melalui forum group discussion (FGD) atau workshop. Apabila sudah ada draft rancangan bisa mengadakan legal drafing,” tambah Setiwan.
Hadir dalam rapat itu antara lain
anggota tim dari berbagai Kementerian dan Lembaga (K/L), akademisi dan
para pakar yang terlibat langsung dalam penyusunan RPP ASN, antara lain
Prof. Sofian Efendi, Prof. Miftah Toha dan Prof. Prijono
Tjiptoherijanto. (gin/HUMAS MENPAN RB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar