Dibalik
sengkarut yang bertele-tele soal kesehatan, efisiensi, dan postur APBN,
terselip sebuah pertanyaan penting. Apakah politik sungguh-sungguh hadir
saat rapat paripurna di parlemen beberapa waktu lalu ? Sungguhkah ada
keputusan politik yang dijatuhkan ? Atau, rapat tersebut justru
membuktikan betapa politik sudah disandera sedemikian rupa oleh ekonomi.
Manajerialisasi Politik
Ekonomi
sejatinya bukan penghuni ruang public. Dia adalah oikos (rumah tangga)
dan nomos (hukum). Ekonomi tak lain adalah aturan main dalam mengelola
rumah tangga. Dia sepenuhnya domestik. Politik jauh lebih mulia karena
bertempat di ruang public yang heterogen, ganjil, dan tak terduga.
Politik adalah seni hidup bersama di ruang public, lengkap dengan segala
kompleksitasnya. Keputusan politik pun jauh lebih rumit dan sublime
ketimbang ekonomi. Keputusan politik tidak semata soal alokasi belanja
rumah tangga. Keputusan politik merupakan artikulasi keadilan dalam
situasi yang dilematis, jamak, dan tak tuntas. Apa boleh dikata,
modernitas membuat ekonomi menerobos masuk ke domain politik. Sebab,
akal modernitas bukan akal sehat, melainkan akal alat. Itu berbicara
melulu soal efisiensi dalam menggapai tujuan. Sementara, tujuan sendiri
tidak pernah diuji di ruang public. Percakapan public semata
mempersoalkan efisiensi sarana untuk sebuah tujuan yang didefinisikan
secara soliter.
Debat
soal APBN, misalnya. APBN sejatinya adalah sarana untuk menyejahterakan
rakyat berbasis keadilan sosial. Namun, perdebatan tidak pernah
menyentuh soal kesejahteraan, apalagi keadilan. Perdebatan berfokus
melulu pada postur anggaran, besaran subsidi, beban subsidi, kesehatan
anggaran, dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Semuanya
perdebatan tentang alat dan siasat belaka. Alhasil, politik pun menjadi
sangat manajerial. Manajerialisasi politik adalah fenomena modernitas
yang lazim (kalau tidak bisa dibilang) banal. Kita tidak pernah lagi
mendengar pidato politik. Setiap pidato kenegaraan adalah pidato ekonomi
yang disepuh politik di sana-sini. Pidato seolah-olah politik. Politik
sudah direduksi sedemikian rupa menjadi perkara efisiensi. Perdebatan
tentang BBM pun dipaksa berposisi hanya pada dua sudut : Proefisiensi
atau anti-efisiensi. Tidak lebih. Artikulasi keadilan nyaris tidak
terdengar. Kalaupun terdengar, maka artikulasi keadilan hanya kosmetika
untuk menutupi wajah yang sepenuhnya ekonomi. Di tangan ekonomi, politik
pun menjadi sepenuhnya manajerial. Manajerialisasi politik membuat
keputusan-keputusan politik dikendalikan sepenuhnya oleh ekonomi. Ini
sungguh menyalahi prinsip ekonomi positif yang meletakkan ekonomi
sebagai penopang keputusan politik, bukan sebaliknya. Ekonomi
semata-mata bertugas memberikan rekomendasi teknis untuk sebuah tujuan
politik tertentu. Artinya, ekonomi tidak sepatutnya masuk ke dalam
perdebatan soal nilai, ideology, atau arah etis kebijakan. Kenyataannya,
ekonomi bukan sekedar mengambil alih lahan politik, bahkan menentukan
bulat lonjong lahan tersebut. Politik pun dibuat gigit jari di
kampungnya sendiri.
Keputusan tanpa keputusan
Tidak
ada keputusan politik apa pun di rapat paripurna tentang APBN-P
kemarin. Rapat itu menunjukkan betapa politisi kita bercakap dengan
kosakata yang sama, kosakata ekonomi. Ekonomi adalah soal aturan (nomos)
yang bergemin. Aturan mati ekonomi berbunyi : “Jika subsidi BBM tidak
dikurang, maka APBN jebol”. Maka, mereka yang menolak pengurangan
subsidi BBM berarti setuju APBN jebol. Padahal, terlepas dari subsidi
yang sebagian besar dinikmati orang kaya, kita masih bisa berdebat,
apakah APBN jebol oleh subsidi atau oleh korupsi. Kita juga bisa
berdebat, apakah layak Negara sekaya Indonesia APBN-nya hanya Rp. 1.600
triliun ? Kita sibuk mempersoalkan pengeluaran, tetapi malas mendongkrak
pemasukan. Namun, apa mau dikata, aturan emas ekonomi mendominasi jalan
pikiran politisi Senayan. Koalisi (yang mulai retak) pun satu suara
soal aturan emas tersebut. Subsidi BBM wajib dikurangi untuk
menyelamatkan APBN. Pertanyaannya, apakah menyelamatkan APBN
sekoyong-koyong menyelamatkan rakyat ? Siapa yang diselamatkan, APBN
atau rakyat ? Kita bisa berkeras bahwa APBN yang sehat akan
menyejahtarakan rakyat. Masalah ke mana uang hasil desubsidisasi yang
pernah dilakukan selama ini ? Apakah uang tersebut sungguh dipakai untuk
perbaikan kesejahteraan rakyat ? Atau itu sepenuhnya dipakai untuk
kebijakan populis yang berdampak politik jangka pendek.
Ekonomi adalah belukar aturan yang keras dan dingin. Di sisi lain,
politik adalah soal kebisa jadian yang plastis. Keduanya ganjil jika
dipertemukan. Politik adalah perkara keputusan sementara ekonomi,
keniscayaan. Saya menyebutkan keputusan ekonomi sebagai keputusan tanpa
keputusan. Sebab, ekonomi pada akhirnya selalu menyerahkan nasib pada
aturan yang kaku. Tidak ada ruang sejengkal pun bagi keputusan manusiawi
dengan segenap keganjilannya. Semuanya sudah dipastikan sejak awal.
Tersanderanya politik oleh ekonomi membuktikan bagaimana keputusan sudah
diperkosa oleh keniscayaan. Pemimpin politik sebenarnya diharamkan
untuk ragu. Buat apa ragu jika semuanya sudah diatur sedemikian rupa
oleh ekonomi. Keraguan merupakan sinyal adanya pertimbangan politik yang
berkutat dengan variable majemuk. Lebih gawat lagi jika keraguan itu
didorong oleh pertimbangan imaji public belaka. Apakah keputusan yang
bersangkutan akan berpengaruh terhadap persepsi public terhadapnya ?
Bukan keraguan politik yang didorong oleh sesuatu yang jauh lebih mulia,
yakni hajat dan martabat orang banyak. Di rapat paripurna, ekonomi
garis keras dan politik setengah hati bertemu. Efisiensi APBN berbuah
pada gula-gula politik bernama BLSM, dana Lapindo, dan lain sebagainya.
Kesehatan APBN bisa jadi berujung pada kesehatan partai. Tahun politik
membuat setiap kebijakan disusupi dengan kepentingan jangka pendek.
Semakin besar kompensasi akibat desubsidisasi, semakin besar peluang
politik di 2014. Sekali lagi, tidak ada keputusan politik apa pun di
parlemen soal subsidi BBM. Parlemen sekedar membonceng keniscayaan
ekonomi demi kepentingan electoral belaka. Politik sungguh dibuat tak
berdaya oleh ekonomi. Tidak saja dia dipaksa memakai baju pinjaman,
tetapi politik pun diubah total wataknya dari hajat dan martabat orang
banyak kepada syahwat kekuasaan belaka. Politik ditekuk sedemikian rupa
menjadi seni memutuskan tanpa keputusan. Sungguh celaka.
Sumber :Kompas