“Mak… Aku minta kawin.” Suara itu terdengar parau menyayat hati, sepasang bola mata gadis malang itu terlihat membentuk lorong.
Nama gadis itu Sinta. Wajahnya yang ayu nampak muram, seolah cahaya di wajahnya telah pergi bersama separuh hatinya yang membuat ia terus menyebut-nyebut kalimat “Mak, aku minta kawin” bak kaset rekaman yang rusak.
Terkadang, bila seorang pergi dari hidup kita ia juga membawa separuh hati kita pergi. Sinta tengah bertarung melawan kesakitan itu, meraung-raung meminta separuh hatinya kembali agar hatinya utuh. Namun, rindu Sinta bagaikan pungguk merindu rembulan, cinta yang telah lama ia nantikan untuk disatukan dalam bahtera rumah tangganya kandas seketika saat ia harus menghadapi kenyataan: Lamaran kekasihnya ditolak oleh orangtuanya. Kini sang gadis sarjana S1 itupun menghabiskan waktunya dengan kejiwaannya yang terganggu.
Aku melihat kesedihan mendalam di dua pasang bola mata orangtua Sinta. Mungkin mereka benar-benar merasa bersalah dengan apa yang mereka perbuat. Ibu Sinta mengerutkan dahinya, menatapku nanar dan penuh harap lalu membuka mulutnya, “Tolonglah, Ustadz... Sembuhkan anak kami, Sinta… Kami sekarang ihlas dia menikah dengan siapapun asalkan anak kami sembuh”
“Saya hanya bisa berdoa dan berikhtiar, Bu. Saya akan mencoba meruqyah anak ibu semampu saya” jawabku tulus.
Akupun membuat sebuah ramuan rendaman mujarab dari campuran daun bidara, daun sirih, jeruk nipis yang dicampur dalam seember besar air lalu meruqyahnya.
“Sinta, ke mari” Ucapku seraya menuntunnya masuk ke dalam gentong berwarna merah berisi air.
Sinta menurut saja, tetapi kulihat langkah kakinya bagai mayat dalam ritual Ma’nene di Toraja. Terang sekali, ia bagai mayat berjalan. Dalam hati aku membatin, pastilah luka dalam jiwanya ini begitu dalam. Aku menjadi sangat iba pada Sinta. Saat proses meruqyahnya, dengan izin Allah, aku berusaha tulus ingin menyembuhkannya, ditambah orangtuanya sangat menumpukan harapannya padaku.
Berhari-hari aku meruqyahnya secara berkala. Lantunan demi lantunan ayat ruqyah kubacakan padanya, guyuran demi guyuran obat herbal telah tandas untuk mengobati gadis itu. Alhamdulillah, setelah sesi ruqyah ke sekian kalinya, ketika Sinta membuka matanya setelah mengerjap-kerjap beberapa kali, tatapan matanya tak lagi kosong. Allah telah mengisi kembali kehampaannya dengan kasih sayang-Nya. Wajah Sinta pun menghangat dan cerah dengan semangat baru. Allah Maha Baik.
Pada satu kesempatan khusus Sinta akhirnya mencurahkan isi hatinya padaku. Airmatanya meleleh seketi-ka wajahnya berusaha menahan luapan emosi yang membuat wajahnya merah padam.
“Ustadz, hatiku hancur sehancur-hancurnya… orangtuaku tidak menyetujuiku menikah dengan pria yang aku cintai, akhirnya entah mengapa dada ini terasa sangat nyeri, kepalaku terasa sangat sakit, dan aku kehilangan kesadaran. Aku baru tersadar kembali setelah bertemu dengan Ustaz”
Aku mengernyitkan dahiku, curahan hati Sinta serasa menohok ulu hatiku. Aku berbisik dalam hati, Aku tidak lebih beruntung darimu, Sinta. Aku pernah mencintai seseorang, tetapi belum sampai tangan ini hendak meraihnya, cintaku ia tolak mentah-mentah. Kau masih sempat diperjuangkannya, Sinta, hanya saja terkadang takdir memang ganas melindas harapan. Membuat kita menjadi menganga-ngaga harus menerima realita. Cinta memang tidak selalu berakhir bahagia, terkadang jika kita terlalu menghamba pada cinta manusia, kita lupa akan cinta yang hakiki, cinta pada-Nya, hingga Dia menimpakan pedihnya ditinggal cinta, agar harapan itu kembali ditumpukan kepada-Nya. Agak lama kuhabiskan waktu untuk menasihati Sinta agar ia lebih kuat menata kembali kepingan-kepingan hatinya. Perkara patah hati memang tak pernah mudah untuk diatasi.
Orangtua Sinta mengulum senyum, terharu, senang, dan luapan syukur terbit di wajah keduanya. Anak gadisnya telah kembali menjejak bumi. Berulang kali orangtua Sinta mengucapkan terimakasih padaku mengantar pulangku. Sebelum aku meninggalkan rumahnya aku menasihati rangtua Sinta agar mencarikan jodoh yang dicintainya dan segera dinikahkan. Segera setelah itu, orangtua Sinta menyelipkan amplop tebal di saku bajuku dengan antusias.
Uang. Uang tidak akan dapat membeli cinta sejati. Biarlah cintaku terantung di langit tinggi. Ada 73 bidadari surga yang menanti diri yang akan memperebutkan cinta sang mujahid yang syahid. Aku ikhlas dengan cobaan di dunia ini karena jiwaku pun sesungguhnya terluka karena tak pernah berbalas cinta ini.
Aku melihat arak-arak awan-gemawan sembari menutup pergumulan hati ini.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar