Bogor, bimasislam-- Mempelajari Peraturan Perundang-undangan itu perpaduan antara art and skill.
Teori Perundang-undangan bisa dibaca dan dipelajari, namun pemahaman
mengenai Peraturan Perundang-undangan dapat diperoleh dari “jam terbang”
dan pengalaman. Demikian disampaikan Prof. Dr. Jimly Asshidqie, mantan
ketua MK pada acara orientasi penyusunan Peraturan Perundang-undangan di
Lingkungan Ditjen Bimas Islam yang diselenggarakan oleh Bagian Ortala
dan Kepegawaian Setditjen Bimas Islam dari tanggal 24-26 Juli 2013 di
hotel Ammarosa Bogor (25/7).
Lebih lanjut Prof. Jimly menyinggung hal terkait dengan praktik kodifikasi hukum, yang mana diawali adalah pada zaman khulafaurrasyidin,
Harun Al-Rasyid, yang berpendapat bahwa seharusnya Negara memiliki
peraturan perundang-undangan yang dibukukan. Maka sebenarnya sebelum
Bangsa Eropa mengenalkan Civil Law (peraturan yang dituliskan
dalam kitab menjadi hukum tertulis), Islam sudah mengenalkannya karena
sumber dari Civil Law Islam dimaksud adalah Al-Qur’an (sumber segala
hukum).
Dengan
susunan kata yang teratur, ketua DKPP KPU ini juga memaparkan bahwa
pada dasarnya rakyat lah yang memiliki kuasa membuat undang-undang.
Tidak boleh Negara yang mengatur, namun demikian hal tersebut sulit
untuk diterapkan. Karenannya, urainya, untuk mengatasinya dibentuklah
sistem pendelegasian wewenang (legislative delegation) dari
Rakyat ke Perwakilan sehingga muncul sistem Legislasi, yaitu
perwakilan-perwakilan Rakyat berkumpul merumuskan
Undang-Undang/Peraturan, sehingga menghasilkan logika Pejabat Negara
dengan level ter-rendah yang memiliki kewenangan untuk “mengatur”
membuat peraturan yang mengikat publik adalah Menteri.
Merujuk
pada pendekatan “Legislative Delegation” sebagaimana diuraikan di atas,
terangnya, maka konstruksi berfikir kita harus dimulai dari Dirjen sama
dengan pegawai (PNS), Pegawai (PNS) sama dengan Pelayan Masyarakat,
seharusnya berperan sebagai Pelayan Publik, sehingga tidak boleh Pelayan
Masyarakat membuat Peraturan yang mengikat masyarakat.
Namun
demikian, Peraturan Dirjen yang sudah terlanjur terbit tidak lantas
batal demi hukum, karena dua hal, antara lain: Hal seperti ini sudah
menjadi kebiasaan dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia
(Konvensi). Alasan kedua, adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang isinya tidak melarang adanya Peraturan Dirjen.
Sebagai contoh, tetap berlakunya Peraturan Dirjen Perbendaharaan,
Peraturan Dirjen Anggaran, Peraturan Dirjen Bea Cukai ujar Pria
kelahiran Palembang, 17 April 1956 Ini.
Berdasarkan pantauan bimasislam, kegiatan
ini juga menghadirkan pembicara dari luar Bimas Islam seperti Dr. H.
Taufikurrahman Syahuri (Komisioner KY) dan Pocut Eliza, SH (Direktur
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Depkumham). (bag-orata/foto:bimasislam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar