Penyesalan Yang Tiada Arti
Oleh : Muh. Rifai
Sewaktu saya
duduk dibangku SLTA, tepatnya disebuah SLTA Negeri di Wonosobo, aku tak pernah
memikirkan akan arti hidup, sekolahpun semaunya penampilan tak kuperhatikan,
rambut gonderong dan acak-acakan, disekolahan setiap pagi hampir bissa
dipastikan telat, sehingga setiap pagi saya harus berjemur didepan ruang BP.
Saya masih ingat betul guru BP yang selalu menghukum saya, bahkan saya dipotong
rambutnya didalam kelas saat Semesteran berlangsung, sampai siswa-siswi yang
ada didalam kelas semua mentertawakan aku, tapi aku tidak merasa malu atau
dicemo’oh. Itu terjadi ditahun pertama di Wonosobo.
Pada tahun
kedua saya sering tidak masuk kelas, padahal saya selalu minta izin Pak kyai
saya, ketika saya mau berangkat kesekolah, tidak tahunya saya sampai ke Dieng
ke Banjarnegara itu terjadi hampir setiap hari, dan itu tak pernah diketahui
oleh Kyai saya.
Suatu ketika
saya pamit pak Kyai untuk berangkat sekolah, tapi malahan tiduran rumah orang
kampung disebelah Pesantrenku dan ini saya lakukan berulangkali, tiba-tiba ada
istri kyai saya menuju kearah saya dimana saya dan teman saya sedang tiduran sambil
mendengarkan lirik lagu yang dinyanyikan Iwan Fals dikamar teman santri
dikampung tersebut, kemudian saya dipanggil dihadapkan kepada pak Kyai untuk
dinasihati dan diarahkan, namun masih saja belum berubah.
Saatnya yang
kebanyakan siswa-siswi menunggu-nungu yaitu pembagian raport kenaikan kelas
yang dibarengi dengan kecemasan akan hasil nilai raportnya. Namun saya sama
sekali peduli dengan hal itu, justru disaat seperti itu saya malahan pulang
kampung tanpa merasa ada sesuatu yang membebani dan menghawatirkan akan sesuatu
yang tidak diinginkan oleh kabanyakan pelajar “tidak naik kelas”. Raport saya
tidak saya ambil, sementara saya tidak bilang sama orang tua kalau hari itu
adalah hari pengambilan raport, nampaknya orang tua saya tahu, sehingga
menanyakan kapada saya, sajawab “tidak diambil tidak apa-apa pak, biar nanti
pak Kyai yang ngambil” beberapa hari kemudian liburan belum usai ada surat dari
sekolahan saya yang inti panggilan terhadap orangtua saya agar untuk mengetahui
keberadaan saya disekolah tersebut. Akhirnya saya dikeluarkan dari sekolah
tersebut.
Menjelang tahun
pelajaran baru tiba, saya dipaksakan lagi oleh orangtua untuk melanjutkan
sekolahnya, namun saya menolak dengan keras, bahkan Raport yang dari Sekolahan
Wonosobo-pun saya bakar, orangtua saya dengan penuh kesabaran memintakan raport
kembali sekolah di Wonosobo. Kemudian akupun menurutinya untuk melanjutkan sekolah dan nyantri disebuah
sekolah terpadu di daerah kota Magelang, watu itu juga diberangkatkan ke
Magelang dan saya harus mengulag dari kelas dua SLTA lagi.
Pada tahun
pertama di Magelang saya kelihatan agak rajin dan menuruti peraturan yang
berlaku akhirnya saya mendapat pringkat dari 38 siswa dalam satu kelas, namun
pada tahun kedua saya mulai berontak lagi terhadap aturan-aturan yang
diterapkan asrama itu, saya menghilang dari asrama kurang lebih 2 minggu “menginap
dikost-kost-an temen” dalam 2 minggu itu kerjaan saya siang tidur malamnya
bergadang sampai pagi. Akhirnya keberadaan saya di tempat kost teman sya ada
yang melaporkan ke Pak Kyai, langsung saya dipanggil oleh pak Kyai saya. Saya mendapat
pengawasan ketat dari Pengurus Asrama “ bagaikan maling dalam tahanan” tapi
saya merasa senang kadang saya dipanggil pak Kyai untuk mencukur rabut beliau,
kadang-kadang saya panggil untuk memijit beliau, sehingga saya merasakan ada
kedekatan terhadap pak Kyai.
Dua tahun
sudah saya di Kota Magelang, dipesantrenpun hanya tidur-tiduran orang jawa
mengatakan “pindah turu, pindah mangan, pindah ngising”.
Tak pernah
terbayang akan kasih sayang orangtua. Tak tahu menahu apa itu arti kasih sayang,
hidupku tak tentu arah, tak punya tujuan. Orang tua sudah berulangkali memberi
nasihat kepadaku untuk memilih apa yang menjadi keinginanku, namun pilihan
orangtuaku hanya ada dua “dipesantren atau kuliah” oleh karena itu akupun
terpaksa memilih di pesantren.
Selang
beberapa bulan kemudian aku merasakan jenuh dan membosankan, diam-diam tanpa
sepengetahuan orangtuaku, akupun pindah dari pesantren yang aku pilih waktu itu,
lama kelamaan orangtuakupun tahu akan keberadaanku dipesantren, tetapi orangtua
aku tetap menyemangati aku walau aku slalu pindah-pindah pesantren. Tidak lama
kemudian walhasil sama dengan dipesantren yang sebelumnya, yang saya rasakan
hanyalah membosankan, disore hari aku menuju pinggiran jalan pantura sambil
memandangi bus yang lewat dari arah Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya
Surabaya ke Jakarta, tak terasa kumandang adzan terngiang ditelingaku, astaghfirullah
waktu sudah maghrib kenapa aku masih pinggir jalan ? tanyaku didalam hati.
Kemudian aku pulang menuju pesantren dimana aku nyantri disitu.
Malam itu
saya tak bisa tidur karena membayangkan teman-temanku yang sudah bisa cari uang
sendiri lantaran ketidakmampuan keluarga untuk menyekolahkan atau memondokkan
dipesantren, betapa bahagianya temen-temenku yang sudah kerja, bisa bebas
melakukan apasaja dirantau sana “Ibu
Kota Jakarta” tak ada pikir panjang keinginanku seperti teman-teman yang sudah
bekerja di Jakarta, pagi harinya saya cuci pakaian yang kotor, saya persiapkan
tas ransel, setelah pakaian kering saya masukkan ke ransel tersebut.
Sesudah
sholat maghrib akupun keluar dari pesantren itu tanpa ada tujuan yang pasti,
sambil berjalan menuju jalan Pantura aku berfikir dan bertanya-tanya dalam hati
“mengapa saya menghianati orangtuaku sendiri, mengapa saya harus pergi dari
pesantren” padahal orangtuaku sudah merasa gembira dan bahagia bahwa saya sudah
tiga bulan betah dipesantren.tak terasa sampailah aku dipinggir jalan raya
dalam hati berfikir lagi “perang bathin” antara pulang kerumah atau pergi
kejakarta, belum sempat menemukan jawabannya
tiba-tiba sebuah bus jurusan Surabaya – Jakarta berhenti didepan saya,
tanpa pikir panjang akupun naik bus tersebut
Bersambung......................